Rabu, 11 Juli 2012

Jokowi Balikkan Prediksi

Jokowi Balikkan Prediksi
Hasil Hitung Cepat Kalahkan Foke

JAKARTA,FAJAR -- Pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta, Rabu 11 Juli, benar-benar memunculkan kejutan. Pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang tak pernah diunggulkan ternyata sukses memecundangi pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) yang selama ini selalu disebut-sebut berbagai lembaga survei bakal memenangi pilgub.

Begitulah hasil penghitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei. Berdasar penghitungan cepat itu, Jokowi-Ahok bertengger di posisi teratas, baru kemudian disusul Foke-Nara dengan selisih sekitar 9 persen. Dua pasangan tersebut bakal bertarung kembali pada putaran kedua September mendatang.

Berdasar penghitungan cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Jokowi-Ahok meraih 43,04 persen suara, sedangkan Foke-Nara hanya 34,17 persen suara. Pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini berada di peringkat ketiga dengan 11,77 persen, disusul pasangan independen Faisal Basri-Biem Benyamin dengan 4,83 persen suara.
Secara mengejutkan, pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono hanya meraih 4,34 persen suara dan Hendardji Supandji-Riza Patria berada di nomor buncit dengan perolehan 1,80 persen suara.

Hasil tersebut berbeda jauh dari jajak pendapat seluruh lembaga survei sebelumnya yang mengunggulkan Fauzi Bowo bakal memimpin perolehan suara. Survei Lingkaran Survei Indonesia pada 22–27 Juni lalu menyatakan Foke-Nara bakal menang besar dengan meraup 43,7 persen, jauh mengungguli Jokowi-Ahok yang hanya meraup 14,4 persen suara.

Survei Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) pada 2–7 Juli lalu bahkan menyatakan Foke-Nara meraup 47,2 persen, jauh meninggalkan Jokowi-Ahok yang hanya meraup 15,2 persen suara.
Perolehan suara Jokowi-Ahok tersebut luar biasa besar. Berdasar survei internal PDI Perjuangan, Desember lalu, ketika ditetapkan sebagai calon gubernur, popularitas Jokowi hanya 6 persen. Sebulan kemudian, popularitasnya naik menjadi 17 persen.

Akhir Juni lalu, popularitas Jokowi berdasar survei internal PDI Perjuangan-Gerindra meningkat lagi menjadi 33 persen, masih jauh di bawah Foke di kisaran 43 persen. Kini setelah pencoblosan, perolehan suara justru berbalik. Jokowi memperoleh 43 persen, sedangkan suara Foke melorot menjadi 34 persen.

Direktur Eksekutif Puskaptis Yusin Yazid menjelaskan, melorotnya suara Foke tersebut disebabkan kurang kreatif dan tidak profesionalnya kinerja tim sukses. Juga, pendekatan mereka kepada media massa sangat buruk karena hanya mengandalkan sejumlah media tertentu.

Selain itu, partai pengusung Foke tidak bekerja karena terjadinya konflik internal maupun mendukung calon lain. Sebagai petahana (incumbent), Foke juga lebih senang berada di belakang meja dibanding turun ke lapangan mendekati masyarakat secara langsung.

’’Sebenarnya Partai Demokrat (Foke-Nara) dan PDI Perjuangan (Jokowi-Ahok) sama-sama tidak bekerja di lapangan. Hanya massa PKS (Hidayat-Didik) yang efektif bekerja. Namun, kunci kemenangan Jokowi adalah kampanye dengan model pendekatan langsung ke masyarakat, sehingga warga Jakarta merasa sosok seperti Jokowi-lah yang mereka butuhkan,’’ tuturnya.

Pakar politik Universitas Indonesia Budyatna menilai, Fauzi Bowo dihukum kalangan menengah ke atas yang tidak peduli terhadap stigma kesukuan yang selalu diusung Foke-Nara. Mereka lebih mementingkan calon yang mengusung program-program yang diharapkan mampu menuntaskan permasalahan Jakarta.

’’Dalam pilkada lalu (2008), terjadi pertarungan ideologis dan kesukuan. Namun, kini warga Jakarta sudah cerdas. Mereka menginginkan perubahan karena sudah tidak percaya kepada incumbent,’’ ungkapnya.

Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai, masyarakat tidak peduli lagi terhadap hasil survei karena lembaga survei dinilai sekadar korporasi pencari keuntungan dari demokrasi. Warga Jakarta juga cerdas karena tidak lagi mengandalkan pertimbangan agama atau etnis dalam memilih. ’’Masyarakat sudah tidak peduli itu semua,’’ tegasnya.

Direktur Executive Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia Toto Izul Fatah mengungkapkan, tiga hasil survei lembaganya memang menunjukkan Foke-Nara paling unggul. Namun, elektabilitas Jokowi-Ahok meningkat sangat signifikan.

’’Selalu terjadi margin antara survei dan quick count. Sebab, survei didasarkan pada opini responden yang selalu berubah, sedangkan quick count berdasar fakta penghitungan suara TPS, sehingga tidak bisa dijadikan patokan,’’ terangnya.

Toto menilai, Jokowi juga unggul karena banyaknya golongan putih yang mencapai 40 persen, naik 5 persen dibanding pilkada lima tahun sebelumnya. Golongan putih tersebut diperkirakan merupakan pemilih tradisional Foke dalam pemilu sebelumnya, namun kali ini tidak menggunakan suaranya karena berbagai alasan.

’’Foke cenderung tidak terlalu banyak manuver. Bahkan, cenderung menjauhi publik, menjauhi pers, dan malah melepaskan kampanye kepada Nachrowi. Mungkin karena percaya diri terlalu tinggi lantaran banyak survei yang mendukung kemenangannya,’’ terang Toto.

Sementara itu, suara Jokowi berasal dari swing voters atau massa mengambang yang mencapai 30 persen. Massa mengambang itu baru menjatuhkan pilihan pada hari pencoblosan karena sejumlah faktor. Misalnya, pencitraan positif Jokowi yang merakyat maupun pakaian khas kotak-kotak merah yang gampang diingat publik.

Terkait dengan putaran kedua, Toto menilai Foke akan meraup suara limpahan dari pemilih Hidayat-Didik karena basis ideologi nasional religius pemilih Hidayat-Didik yang sulit menerima calon berbeda agama seperti Ahok yang berpasangan dengan Jokowi. ’’Massa PKS sulit mendukung Jokowi yang abangan. Namun, seberapa banyak yang pindah, sulit diperhitungkan,’’ ujarnya.

Hal berbeda disampaikan Budyatna. Dia menilai, Jokowi-Ahok akan memperoleh limpahan suara dari pendukung empat kandidat yang kalah namun tetap menginginkan perubahan di Jakarta. ’’Saya melihat, di antara enam kontestan, lima calon selalu mengkritik Foke. Jadi, ada kemungkinan sebagian besar suara yang tidak menang mengarah ke Jokowi,’’ tutur Budyatna.
 
Mengapa Dua Putaran?

Meski Jokowi-Ahok diperkirakan berhasil memperoleh suara 43 persen, mengungguli Foke-Nara yang mendulang 34 persen, pilgub DKI Jakarta dipastikan bakal berlangsung dua putaran. Kondisi itu tidak lazim dan tidak terjadi di daerah lain.

Di daerah lain, pasangan calon yang memperoleh suara tertinggi dan lebih dari 30 persen otomatis akan ditetapkan sebagai pemenang pilkada. Itu sesuai dengan ketentuan pasal 107 ayat 2 UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Yakni, bila tidak ada pasangan calon yang memperoleh 50 persen suara, namun ada pasangan calon yang mendapatkan 30 persen, pasangan calon yang memperoleh suara tertinggi akan ditetapkan sebagai pemenang pilkada.

Artinya, karena Jokowi memperoleh 43 persen suara, sedangkan Foke hanya mendapatkan 34 persen, pasangan Jokowi-Ahok-lah yang memenangi pilgub karena perolehan suaranya lebih tinggi bila dibandingkan dengan Foke. Tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku di DKI Jakarta karena sistem pemilihan yang berbeda dari daerah lain.

Berdasar pasal 11 UU No 29 Tahun 2007 tentang DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemenang pilkada DKI adalah pasangan calon yang memperoleh 50 persen suara.
Bila tidak ada yang memperoleh 50 persen, dua pasangan calon yang memperoleh suara tertinggi akan maju ke putaran kedua yang hanya mempertandingkan dua pasangan calon. (*/sil)
 
 
sumber : jokowi

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...