Rhoma Irama, Nostalgia Satria Bergitar
Bang Raden Haji Oma Irama |
SEMALAM saya nonton film Dawai Asmara 2
yang dibintangi Rhoma Irama, Ridho Rhoma dan Cathy Sharon. Kisahnya
biasa aja, khas sinetron dan film India. Tak ada yang istimewa di situ
kecuali ciuman maut Cathy Sharon pada Ridho Rhoma. Tapi, film itu
tiba-tiba mengingatkan saya pada banyak hal. Saya jadi terkenang dengan
masa kecil dan episode-episode yang lewat dalam hidup. Saya ingat
kampung, ingat almarhum bapak (yang setiap pagi akan memutar kaset lagu Rhoma dengan suara memekakkan telinga),
ingat tahun 1980-an, suasana ketika Rhoma Irama menjadi magnet besar
yang menarik banyak orang. Masa ketika pertamakalinya Rhoma ditahbiskan
sebagai Raja Dangdut.
Pada masa itu, Rhoma adalah
segala-galanya. Jika Anda membangunkan saya di tengah malam dan menodong
dengan pertanyaan apa saja film yang dibintangi Rhoma, maka saya
langsung dengan cepat menyebut sejumlah film. Mulai dari Gitar Tua, Satria Bergitar, Berkelana, Darah Muda, Pengorbanan, Jaka Swara, Menggapai Matahari, Nada-Nada Rindu, hingga Bunga Desa. Malah, saya masih ingat apa saja kisahnya dan dengan siapa dia berpasangan.
Kadang aneh saja jika mengingat
kembali film di mana Rhoma menjadi sosok sempurna. Saya masih sering
berseloroh, saat Rhoma hendak mencium Ricca Rahim, maka ia akan memulai
dengan ucapan, “Bismillah” yang diucapkan dengan intonasi agak
berat dan bergetar. Di kampus Unhas, saat saya masih kuliah, kami sering
memparodikan Rhoma di saat acara Ospek atau inaugurasi. Pernah, saat
pembukaan Ospek di Fisip Unhas tahun 1999, seorang mahasiswa baru (maba)
memulai pembukaan dengan mengucapkan sumpah orang Bugis-makassar. Ia
mengenakan pakaian adat dengan ikat kepala khas. Di saat ia mencabut
badik sambil berikrar dengan suara penuh khidmat, “Mulutku berkata tidak, badikku belum tentu..” Suasananya tegang. Semua menahan napas.
Di tengah suasana sacral itu, tiba-tiba ada seorang senior yang langsung menjawab, “Kaukah itu Rhoma?”
Suasananya langsung berubah. Semua tertawa terbahak-bahak. Dan wajah
maba itu langsung kemerahan karena malu. Hahahaha…. Semuanya menjadi
kenangan yang lucu dan menggelikan.
Nah,
jika Anda membangunkan saya di tengah malam, tanyakan pula beberapa
lagu Rhoma. Maka saya secara spontan akan menyebut lagu Berkelana, Ani, begadang, Bujangan, Gali Lubang Tutup Lubang, Saleha,
dan banyak lagi. Tapi saya tidak terlalu suka lagu-lagunya yang
bernuansa dakwah. Saya masih menghafal banyak lagu Rhoma, termasuk lagu
pesona yang dinyanyikan bersama artis India, Lata Mangeskar. Kaget?
Saya memang seorang penggemar Rhoma Irama. Maafkan atas pengakuan ini. Mungkin Anda akan menganggap saya ndeso,
kampungan, atau apapun namanya. Terserahlah. Saya sendiri sudah lama
memendam pengakuan ini. Rhoma adalah kepingan-kepimgan kecil dari
episode masa silam saya yang tinggal di kampung.
Saya pernah nonton film Berkelana yang dibintangi Rhoma dan berpasangan dengan Yati Octavia (ini salah satu duet maut dalam film Indonesia). Di rumah tetangga, film itu diputar dengan video (pada masa itu betapa mewahnya memiliki video). Ruangan penuh. Saya hanya bisa mengintip dari kaca jendela nako di samping, sambil berjinjit di atas meja.
Selama dua jam lebih saya
saksikan dengan berdiri dan mata tak berkedip. Dalam film itu, Rhoma
memilih kabur dari rumah karena orangtuanya melarang dirinya jadi
pemusik. Syairnya lirih. “Dalam aku berkelana, tiada yang tahu// ke mana ku pergi// tiada yang tahu// apa yang kucari..//
Gubrak!!!! Tiba-tiba meja yang
saya injak bersama puluhan anak-anak langsung rubuh. Kami terjatuh.
Sakitnya bukan main. Kami langsung menangis bersamaan. Namun saat Rhoma
mulai berdendang “Aaaaannniiiiiii….”, kami langsung terdiam.
Kembali mencari meja lalu berdiri memandang dari kaca nako untuk
menyaksikian sang satria bergitar. Rhoma adalah magnet yang menarik kami
dan semua warga lain untuk merapat dan mendengarkannya dengan penuh
penghayatan.
Rhoma Irama dan Hasrat Berkelas
Pada hari ini, saat menyaksikan
poster film Rhoma saya sering senyum-senyum sendiri. Bukan tersenyum
melihat suasana jadul. Tapi saya senyum membayangkan banyaknya kejadian
masa silam yang masih membekas di masa kini. Mendengar lagu Rhoma,
ibarat memutar waktu dan menyaksikan diri sendiri di masa silam,
sekaligus jalan untuk merefleksi diri di masa kini.
Rhoma memang artis yang saya
gandrungi sekaligus saya benci. Gandrung karena lagu-lagunya yang
syahdu, romantic, dan menggetarkan. Tapi saat dewasa, saya mulai benci
karena saat menyebut diri penggemar Rhoma, maka saat itu juga dicap
kampungan.
Ini berbeda dengan kesukaan saya pada satu grup music semisal The Beatles. Ketika saya menyebut lagu seperti Yellow Submarine, The Ballad of John and Yoko,
maka selera saya dianggap berkelas. Makanya, saat kuliah di Unhas, saya
sering memproklamirkan diri sebagai penggemar The Beatles. Saya
melakukannya karena ingin dianggap memiliki cita rasa dianggap tinggi
karena menyukai band-band berkualitas. Padahal, jika diselidiki tubuh
musik saya, maka musik dangdut Rhoma, A Rafiq, ataupun Meggie Z mengalir
sebagai darah daging di situ. Saya yakin, saya tidak sendirian.
Jangan-jangan, Andapun sama dengan saya: sama-sama suka Rhoma, tapi malu
mengakuinya.
dalam film Berkelana |
Namun benarkah para
penyorak itu tidak suka Rhoma? Saya gak yakin. Dunia sosial terlalu
mudah menjadi kekang atas diri kita yang berlarian bak kuda lepas.
Dengan mudahnya kita merekayasa citarasa, kegemaran, dan kesukaan kita
atas sesuatu demi sebuah penilaian tentang cita rasa. Kita jarang jujur
dengan diri sendiri sehingga mengabaikan diri kita yang sesungguhnya.
Kita tidak sedang menjadi diri kita sendiri. Kita menjadi apa yang
dicitrakan oleh media sebagai lapis atas. Kita merekayasa segala yang
ada pada diri kita demi sebuah kata berkelas, keren, atau kata papan
atas.
Namun, untuk apakah semua pencitraan itu? Emangnya kenapa kalau saya ndeso? Memang itu faktanya kok. Jika ndeso yang dimaksudkan adalah sebuah geografi yang terletak di udik sana tempat kita berasal, maka saya memang seorang ndeso. Trus, apa pentingnya mempersoalkan ndeso dan tidaknya seseorang?
Justru kosa kata ndeso
atau kampungan adalah gambaran tentang subkultur dari mana kita berasal.
Kita berangkat dari satuan teritori yang masih memelihara kekerabatan,
jaringan sosial, dan masih menganggap diri satu tubuh dengan masyarakat
sekitar. Kampungan adalah konsep di mana seluruh warga yang berdiam di
satu tempat memiliki solidaritas yang tinggi serta saling memiliki.
Kampungan adalah konsep masyarakat yang sehat di mana masing-masing
saling mngenal serta mengidentifikasi diri sebagai satu kesatuan.
Hajatan pada satu keluarga adalah hajatan seluruh warga. Anda tak
menemukan konsep saling mengenal dan saling membantu seperti ini pada
masyarakat kota yang sok modern. So, jangan malu disebut kampungan.
Jangan pula malu menyebut diri sebagai penggemar Rhoma Irama. Setidaknya
kita sedang berdamai dengan diri kita sendiri.
Fenomena Rhoma
Buat Anda yang pernah merasakan
suasana music di tahun 1970-an dan 1980-an, mustahil jika anda tidak
mengenal sosok Rhoma. Penggemarnya bejibun. Musiknya dinikmati jutaan
rakyat Indonesia. Saya tak pernah melihat seorang penyanyi dengan massa
yang tersebar luas hingga pedesaan. Berdasarkan data penjualan kaset,
dan jumlah penonton film- film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tidak
kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai
pertengahan 1984. “Tak ada jenis kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas”, tulis majalah TEMPO, 30 Juni 1984. Sementara itu, Rhoma sendiri bilang, “Saya takut publikasi. Ternyata, saya sudah terseret jauh.”
sebelum mencium Yati Octavia, Rhoma akan mengucap "Bismillah" |
Rhoma terhitung
sebagai salah satu penghibur yang paling sukses dalam mengumpulkan
massa. Rhoma bukan hanya tampil di dalam negeri tapi ia juga pernah
tampil di Kuala Lumpur, Singapura, dan Brunei dengan jumlah penonton
yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Sering dalam konser
Rhoma Irama, penonton jatuh pingsan akibat berdesakan.
Saya beberapa kali
menyaksikannya. Di kampung saya di Pulau Buton, hanya Rhoma yang sanggup
membuat sebuah kota jadi kota mati karena konsernya. Malah, saya dapat
info kalau banyak penduduk pulau sekitar yang rela berenang menyeberang
pulau demi menyaksikan Rhoma manggung di tepi Pantai Kamali di Bau-bau,
beberapa tahun lalu. Rhoma adalah raja, dan kamilah rakyatnya.
Menurut situs wikipedia, pada 13 Oktober 1973, Rhoma mencanangkan semboyan “Voice of Moslem”
(Suara Muslim) yang bertujuan menjadi agen pembaharu musik Melayu yang
memadukan unsur musik rock dalam musik Melayu serta melakukan
improvisasi atas aransemen, syair, lirik, kostum, dan penampilan di atas
panggung. Menurut Achmad Albar, penyanyi rock Indonesia, “Rhoma pionir. Pintar mengawinkan orkes Melayu dengan rock”.
Tetapi jika kita amati ternyata bukan hanya rock yang dipadu oleh Rhoma
Irama tetapi musik pop, India, dan orkestra juga. inilah yang
menyebabkan setiap lagu Rhoma memiiki cita rasa yang berbeda.
Bagi
para penyanyi dangdut lagu Rhoma mewakili semua suasana ada nuansa
agama, cinta remaja, cinta kepada orang tua, kepada bangsa, kritik
sosial, dan lain-lain. “Mustahil mengadakan panggung dangdut tanpa menampilkan lagu Bang Rhoma, karena semua menyukai lagu Rhoma,” begitu tanggapan beberapa penyanyi dangdut dalam suatu acara TV.
Rhoma juga sukses di dunia film,
setidaknya secara komersial. Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua
film Rhoma selalu laku. Bahkan sebelum sebuah film selesai diproses,
orang sudah membelinya. Satria Bergitar, misalnya. Film yang dibuat
dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh
pialang Rp 400 juta. Tetapi, “Rhoma tidak pernah makan dari uang film. Ia hidup dari uang kaset,” kata
Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi produser PT Rhoma Film. Hasil
film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan
remaja, dan perbaikan kampung.
Sayangnya, sejak Rhoma terjun ke
dunia politik, kariernya seakan meredup. Meskipun ia masih tetap
menjadi magnet di dunia music dangdut. Ia adalah nama besar yang
melambungkan music itu hingga bisa diterima banyak orang di masa kini.
Semalam, saya menyaksikan film
yang dibintangi Rhoma. Memang, ia tidak lagi menjadi satria bergitar. Ia
hanya membimbing Ridho putranya. Dan sepanjang film, saya tersenyum dan
terpingkal-pingkal. Saya membayangkan masa silam, masa yang penuh
lagi-lagu Rhoma.(*)
Makassar, 18 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar