“Tarik… tarik… tarik…” teriak Sunardi kepada temannya yang
sesaat menghentikan ayunan ‘dandang-nya’ di atas tebing batu setinggi
20m. Pagi itu Sunardi mengirimkan bekal sarapan kepada temannya dengan
cara menambatkan pada tali yang terbuat dari ban bekas. Dengan sigap
temannya menariknya sambil terus mengelap peluh yang terjun bebas ke
dasar tebing. Sesaat kemudian Sunardi mencari jalan memutar, karena dia
tidak biasa naik tebing dengan seutas tali. Suasana pagi di penambangan
batu lereng Gunung Ijo, Prambanan-Sleman. Dari sinilah dihasilkan
batu-batu indah, dinding batu, patung, ukiran batu, dan ubin batu
penghias bangunan-bangunan mewah berasal.
Dari kejauhan batuan sedimen terlihat jelas manakala lapisan penutup berupa tanah humus sudah terkelupas. Imajinasi saya melayang jauh membayangkan zebrawall di Tembagapura, karena motif batik batuannya mirip. Persamaannya, di Tembagapura adalah sebuah pertambangan modern, namun di lereng Gunung Ijo juga pertambangan namun masih di kelola secara tradisional. Saya habis pikir bagaimana tanah bengkok di Dusun Groyokan ini dipangkas habis dengan pola-pola kubus dan balok.
Dari atas bukit yang berlapiskan rumput hijau nampak gunung Merapi
berdiri tegak berselimutkan halimun tipis. Sebuah pemandangan kontras
manakala menengok sisi kiri bukit yang terbelah sedalam lebih dari 40 m.
Di sebrang nampak lahan subur yang dijadikan sawah dan kebun sayur
mayur. Lereng Gunung Ijo di kab. Sleman-Yogyakarta ibarat sebuah gunung
batu yang dilapisi tanah subur. Tak salah jika di lereng gunung-gunung
ini lahan pertanian begitu mendominasi. Di sisi lain berdiri juga
peninggalan sejarah seperti Candi Ijo, Candi Barong, Candi Banyu Nibo
dan masih banyak candi yang masih tertimbun tanah. Dari bukit ini nampak
pesawat yang terbang rendah bersliweran hendak naik atau turun karena
di sisi bawar adalah bandara udara Adi Sutjipto. Namun yang menarik
adalah dinding batu yang berdiri kokoh namun secara pelan dikikis habis.
Dengan lincah seorang penambang naik ke dinding batu sambil memanjat
dengan berpegangan pada seutas tali dari ban bekas. Tali yang elastis
memantul-mantulkan tubuh kekarnya saat kedua ujung telapak kaki berpijak
untuk membantu memanjat. Dalam hitungan detik, tubuh yang lincah itu
sudah bertengger di atas tebing batu. Sebilah bambu yang menjadi acuan
ukuran di goreskan pada batu yang akan ditambang. Setelah membuat pola
lalu digali dengan menggunakan sebuah ‘dandang’ atau beliung. Beliung
merupakan alat utama yang bentuknya mirip kapak dengan mata kapak yang
melintang.
Pola yang sudah terbentuk lantas di kikisnya membentuk balok atau kubus
sesuai dengan pesanan. Biasanya ukuran balok 100×50x50cm, bahkan ada
pesanan khusus yakni kubus ukuran 300×300x300cm yang akan digunakan
sebagai patung. Jika sisi samping balok sudah terkikis maka tinggal
mencungkil bagian bawahnya dengan menggunakan pahat lalu mendongkraknya.
Setelah itu sebuah balok besar akan dijatuhkan dari ketinggian 20m, dan
sampai bawah bawah hebatnya masih utuh.
Disela-sela kesibukan menggergaji tebing batu, Sunardi masih bisa
bercanda sambil sesekali menghisap rokok kreteknya, acapkali tangannya
sibuk dengan ponselnya manakala ada pesan masuk. Dia berkisah manakala
tanah bengkok atau tanah desa ini sudah ditambang sejak tahun 1985, dia
sambil menunjuk sebuah lapangan sepak bola di bawah tebing. Dia juga
menunjuk sebuah air terjun mungil hasil limpasan air dari sawah di atas
tebing batu. “Sore hari biasanya banyak anak-anak muda berfoto di sini”
kekeh dia yang sepertinya aneh melihat ada yang berfoto di lokasi
galian.
Wajah Sunardi begitu sumringah pagi ini karena ada pesanan batu-batu
ukuran 50×50x50cm. Batu berbentuk kubus yang dihargai 30ribu perbuah itu
dipesan oleh sebuah hotel yang dibuat menjadi hiasan. Dia begitu
bersemangat pagi ini, karena ada rejeki di dinding-dinding tebing yang
siap dihantam dengan dandangnya. Saya iseng bertnya dengan potensi
bahaya bekerja di atas ketinggian dan tebing yang curam, sebab mereka
tanpa pengaman tali tubuh dan pelindung kepala. Mereka bekerja
bermodalkan keberanian, kebutuhan dan harus nekat dan selama ini sejak
tahun 1985 belum ditemui kecelakaan fatal. Pembicaraan usai manakala dia
berpamitan untuk naik ke tebing karena pesanan batu sudah menunggu.
Suara gergaji begitu memekakan telinga. Entah berapa desibel suara yang
dihasilkan, yang pasti gendang telinga terasa menyakitkan. Beberapa
karyawan nampak biasa saja bekerja, ternyata telinga mereka sudah
tersumpal dengan kapas. Bongkahan-bongkahan batu besar siap untuk
digergaji menjadi lempengan-lempengan tipis dan halus. Inilah industri
pengrajin batu alam yang memproduksi batu-batu hias untuk ornamen
bangunan.
Sebuah forklift nampak terhuyung-huyung mengangkat sebongkah batu besar.
Lalu dengan pelan, batu berbentuk bulat tersebut diletakan dan disambut
3 pekerja yang sudah siap dengan linggisnya masing-masing. Batu besar
mirip menhir yang biasa digendong Obelix digelindingkan dalam lori
kecil. Batu lalu di ukura dan dibuat pola untuk digergaji. Sebuah
gergaji mesin berbentuk cakram sudah berputar kencang dengan guyuran air
yang mengalir deras. Dengan perlahan 2 pekerja mendorong bongkahan batu
tersebut untuk dibelah menjadi lapisan-lapisan tipis.
Beragam jenis batu siap untuk digergaji di sini. Beragam bentuk batu
hasil gergajian batu diproduksi sesuai dengan pesanan. Hasil tambang
batu di Gunung Ijo sebagian besar dikirim ditemapat penggergajian batu
yang letaknya sekitar 500m dari pertambangan. Saya lantas mengerti
darimana dan bagaimana proses batu-batu yang menghiasi rumah-rumah mewah
dan hotel bintang itu berasal dan didatangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar