Pada tahun 1577 M, Ki Ageng Pamanahan yang mendapatkan hadiah sebuah
wilayah di Mataram dari Sultan Pajang karena jasanya mengalahkan Aryo
Penangsang, membangun istananya di Kotagede (cikal bakal Kesultanan
Yogyakarta). Kerajaan Mataram Islam yang beribukota di Kotagede ini
mengalami perkembangan pesat pada masa kekuasaan Sultan generasi
keempat, Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan putranya, Amangkurat I,
Kerajaan Mataram mengalami konflik internal yang dimanfaatkan oleh VOC
hingga berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada bulan Februari 1755 yang
membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Jogjakarta. Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi sultan pertama
Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwana I. Sultan
Hamengku Buwana I kemudian membangun pusat pemerintahan baru di tempat
yang sampai sekarang masih bisa kita saksikan sebagai Keraton
Yogyakarta.
Di daerah selatan perkampungan Kotagede, terdapat Pasar Gede atau
Sargede yang merupakan pasar tradisional yang dibangun pada masa
Panembahan Senopati. Meski bangunannya hanya memakai arsitektur
sederhana dan seadanya, Sargede telah menjadi salah satu pusat kegiatan
ekonomi masyarakat pada zamannya. Hal inilah yang membuat Kotagede
dulunya dikenal dengan nama Pasar Gede atau Sargede. Kemeriahan Pasar
Gede yang selalu ramai bisa kita nikmati setiap hari hingga sekarang.
Namun kita akan menemukan suasana lain apabila kita datang ke Pasar
Kotagede pada saat kalender Jawa menunjukkan pasaran/hari Legi. Pasar
Kotagede akan bertambah ramai dan sesak baik oleh penjual maupun
pembeli, bahkan area pasar bisa melebar hingga ke depan Kantor Pos/TK
ABA. Oleh karena itu, oleh sebagian besar penduduk Kotagede, pasar ini
lebih dikenal dengan nama Pasar Legi.
Keistimewaan
Kotagede merupakan sentra kerajinan perak Yogyakarta. Bengkel-bengkel
dan toko-koko kerajinan perak bisa kita temui di sepanjang Jalan Kemasan
hingga pertigaan ex-Bioskop Istana. Selain sebagai pusat produksi dan
penjualan perhiasan perak, Kotagede juga menyimpan sekitar 170 bangunan
kuno buatan tahun 1700 hingga 1930. Hal tersebut menjadikan Kotagede
tidak hanya sebagai Kota Perak, tetapi juga Kota Tua bersejarah. Suasana
tradisional masih sangat terasa di kota ini.
Sebagai kota tua bersejarah bekas Ibukota kerajaan, Kotagede merupakan
kota warisan (heritage) yang amat berpotensi bagi kemakmuran
masyarakatnya, terutama potensi pariwisata. Sekitar 50 meter sebelah
selatan Pasar Gede, terdapat Kampung Alun-Alun dan kampung nDalem
sebagai peninggalan Keraton Mataram lama. Kampung Bumen yang terletak di
kecamatan Purbayan juga tidak terlepas dari nilai histori ini, di
kampung ini masih terdapat pondasi batu bata merah sisa pesanggrahan
para putri keraton. Namun sayang hanya tinggal beberapa batu bata merah
saja yang terlihat utuh.
Di tengah-tengah kampung tersebut, sebuah gapura dengan benteng panjang
melingkupi salah satu situs kejayaan Mataram tempo dulu yang masih
terawat dengan baik; Petilasan Keraton Kotagede. Beberapa pohon beringin
berjulur panjang yang menandakan usia tua pohon tersebut seolah menjadi
penjaga tempat keramat tersebut. Melewati gapura kedua, ada sebuah
tembok tinggi sekitar dua meter dengan jalan di kedua sisinya
menghalangi pandangan dari gapura ketiga yang menjadi jalan menuju
kompleks Masjid Agung Kotagede, masjid pertama di Kotagede yang
dikelilingi rumah para Abdi Dalem. Masjid tersebut dibangun oleh Sultan
Agung bersama masyarakat setempat –yang pada waktu itu kebanyakan
memeluk agama Hindu dan Budha– sehingga arsitekturnya pun banyak
mengadopsi corak khas arsitektur Hindu dan Budha. Seperti gapura masjid
yang berukiran mirip wihara dan ukiran-ukiran kayu yang menghiasi hampir
setiap sudut masjid yang bercorak gaya Hindu dan Budha. Hal ini menjadi
keunikan tersendiri dari masjid ini. Di dalam Masjid terdapat sebuah
mimbar yang berukiran unik, upeti dari Adipati Palembang kepada Sultan
Agung. Di halaman masjid terdapat pelataran yang luas dengan beberapa
pohon sawo kecik, serta sebuah Bedug berukuran besar yang umurnya sudah
sangat tua, setua Masjid Agung Kotagede itu sendiri.
Di sebelah selatan Masjid, terdapat kompleks makam para Pendahulu
Kerajaan Mataram serta kerabat keluarga kerajaan yang dulunya juga
merupakan tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan. Di antara gapura pertama
sebelum memasuki gapura kedua, terdapat sebuah bangsal duda (sekarang
menjadi koperasi). Melewati gapura kedua, sebuah kompleks menjadi
pembatas sekaligus jalur penghubung menuju makam dan Sendang Saliran
(tempat pemandian). Pada kompleks ini terdapat kantor, gudang, bangsal
pengapit lor, dan bangsal pengapit kidul. Di sebelah barat kompleks,
kita akan menemukan gapura lagi yang menghubungkan ke kompleks makam.
Memasuki kompleks makam, wisatawan diwajibkan memakai pakaian adat Jawa
dan melaksanakan tahlilan (doa) sebelum memasuki makam. Jika Anda tidak
membawa pakaian adat Jawa, jangan khawatir, di kompleks tersebut juga
ada penyewaan pakaian adat Jawa dengan harga sewa Rp. 15.000, - per
pakaian. Setelah melewati sekitar 720 makam, kita akan sampai ke
bangunan utama yang menjadi tempat bersemayam keluarga besar kerajaan.
Di antaranya Nyai Ageng Nis dan P. Djoyo Prono yang merupakan eyang dari
Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan (ayah dari Panembahan
Senopati), Panembahan Senopati hingga Kyai Wonoboyo Mangir, menantu
sekaligus musuh Panembahan Senopati yang makamnya setengah berada di
luar bangunan menjadi keunikan tersendiri di makam ini. Konon kematian
Kyai Ageng Mangir disebabkan kepalanya dibenturkan ke batu yang menjadi
singgasana Panembahan Senopati oleh Panembahan sendiri. Batu itu sendiri
masih bisa dilihat di sekitar 100 meter sebelah selatan kompleks
Masjid. Di sebelah selatan makam terdapat tempat pemandian yang terbagi
menjadi Sendang Kakung untuk lelaki dan Sendang Putri untuk perempuan.
Di Kotagede ada rumah sangat unik yang disebut dengan nama Rumah Kalang,
yaitu rumah kuno yang dibangun oleh almarhum Pawiro Suwarno pada
1920an, seorang pengusaha kaya Kotagede pada masanya. Orang Kalang
merupakan pendatang yang diundang oleh Raja untuk menjadi tukang ukir
perhiasan kerajaan. Keunikan Rumah Kalang ini adalah adanya perpaduan
unsur Jawa dan Eropa, yaitu joglo yang dijadikan rumah induk terletak di
bagian belakang, dan di depan bangunannya bercorak Eropa. Bangunan
Eropa ini cenderung ke bentuk barok, Corinthian, dan doriq. Rumah
bergaya campuran Jawa dan Eropa ini yang sekarang menjadi milik keluarga
Ansor terletak sekitar 300 meter di utara Pasar Gede. Sambil menikmati
keindahan arsitektur masa lampau, kita bisa membeli kerajinan perak yang
diukir indah oleh tangan-tangan terampil di galeri-galeri perak yang
banyak terdapat di sana serta menikmati santapan lezat di
restoran-restoran berarsitektur unik ini.
Kerajinan perak sendiri merupakan budaya turun-temurun. Pada awalnya
kerajinan di Kotagede berupa emas, perak, dan tembaga. Namun seiring
waktu, kerajinan peraklah yang paling diminati. Sehingga para pengrajin
lebih banyak memilih untuk mengolah perak hingga sekarang. Saat ini,
kerajinan ini sudah diekspor ke manca negara. Di Kotagede juga terdapat
pabrik coklat Monggo, sebuah produk coklat asli Yogyakarta. Di sana kita
diperbolehkan masuk ke dalam pabriknya (kecuali pada hari Minggu) untuk
melihat sendiri dari dekat proses pengolahan coklat super enak
tersebut.
Lokasi dan Fasilitas
Kotagede terletak sekitar 10 kilometer di sebelah tenggara jantung kota
Yogyakarta, tepatnya di Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta. Wilayah
Kecamatan Kotagede sebagian merupakan bagian dari bekas kota tua
Kotagede ditambah dengan daerah sekitarnya. Sedangkan bagian lain dari
bekas kota tua Kotagede berada di wilayah Kecamatan Banguntapan,
Kabupaten Bantul. Fasilitas dan akomodasi di Kotagede sudah cukup
lengkap. Kita dengan mudah bisa menemukan hotel, restoran, warung, toko
suvenir dan oleh-oleh, mesin ATM, pom bensin, warnet, penjual pulsa, dan
lain sebagainya. Lokasinya pun sangat mudah dijangkau dan dapat diakses
dari mana-mana. Di Kotagede, kita juga bisa mengikuti kursus membuat
kerajinan perak, baik short term course (beberapa jam) maupun medium
term course (beberapa hari). Untuk memasuki kawasan Kotagede tidak
dipungut tiket masuk apapun, kecuali tarif parkir kendaraan kita.
sumber : Kota Gede
Tidak ada komentar:
Posting Komentar