Jumat, 13 Juli 2012

Kota Gede Pesona Kota Tua Bertabur Kilau Perak



Pada tahun 1577 M, Ki Ageng Pamanahan yang mendapatkan hadiah sebuah wilayah di Mataram dari Sultan Pajang karena jasanya mengalahkan Aryo Penangsang, membangun istananya di Kotagede (cikal bakal Kesultanan Yogyakarta). Kerajaan Mataram Islam yang beribukota di Kotagede ini mengalami perkembangan pesat pada masa kekuasaan Sultan generasi keempat, Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan putranya, Amangkurat I, Kerajaan Mataram mengalami konflik internal yang dimanfaatkan oleh VOC hingga berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada bulan Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta. Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi sultan pertama Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwana I. Sultan Hamengku Buwana I kemudian membangun pusat pemerintahan baru di tempat yang sampai sekarang masih bisa kita saksikan sebagai Keraton Yogyakarta.

Di daerah selatan perkampungan Kotagede, terdapat Pasar Gede atau Sargede yang merupakan pasar tradisional yang dibangun pada masa Panembahan Senopati. Meski bangunannya hanya memakai arsitektur sederhana dan seadanya, Sargede telah menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi masyarakat pada zamannya. Hal inilah yang membuat Kotagede dulunya dikenal dengan nama Pasar Gede atau Sargede. Kemeriahan Pasar Gede yang selalu ramai bisa kita nikmati setiap hari hingga sekarang. Namun kita akan menemukan suasana lain apabila kita datang ke Pasar Kotagede pada saat kalender Jawa menunjukkan pasaran/hari Legi. Pasar Kotagede akan bertambah ramai dan sesak baik oleh penjual maupun pembeli, bahkan area pasar bisa melebar hingga ke depan Kantor Pos/TK ABA. Oleh karena itu, oleh sebagian besar penduduk Kotagede, pasar ini lebih dikenal dengan nama Pasar Legi.

Keistimewaan

Kotagede merupakan sentra kerajinan perak Yogyakarta. Bengkel-bengkel dan toko-koko kerajinan perak bisa kita temui di sepanjang Jalan Kemasan hingga pertigaan ex-Bioskop Istana. Selain sebagai pusat produksi dan penjualan perhiasan perak, Kotagede juga menyimpan sekitar 170 bangunan kuno buatan tahun 1700 hingga 1930. Hal tersebut menjadikan Kotagede tidak hanya sebagai Kota Perak, tetapi juga Kota Tua bersejarah. Suasana tradisional masih sangat terasa di kota ini.

Sebagai kota tua bersejarah bekas Ibukota kerajaan, Kotagede merupakan kota warisan (heritage) yang amat berpotensi bagi kemakmuran masyarakatnya, terutama potensi pariwisata. Sekitar 50 meter sebelah selatan Pasar Gede, terdapat Kampung Alun-Alun dan kampung nDalem sebagai peninggalan Keraton Mataram lama. Kampung Bumen yang terletak di kecamatan Purbayan juga tidak terlepas dari nilai histori ini, di kampung ini masih terdapat pondasi batu bata merah sisa pesanggrahan para putri keraton. Namun sayang hanya tinggal beberapa batu bata merah saja yang terlihat utuh.

Di tengah-tengah kampung tersebut, sebuah gapura dengan benteng panjang melingkupi salah satu situs kejayaan Mataram tempo dulu yang masih terawat dengan baik; Petilasan Keraton Kotagede. Beberapa pohon beringin berjulur panjang yang menandakan usia tua pohon tersebut seolah menjadi penjaga tempat keramat tersebut. Melewati gapura kedua, ada sebuah tembok tinggi sekitar dua meter dengan jalan di kedua sisinya menghalangi pandangan dari gapura ketiga yang menjadi jalan menuju kompleks Masjid Agung Kotagede, masjid pertama di Kotagede yang dikelilingi rumah para Abdi Dalem. Masjid tersebut dibangun oleh Sultan Agung bersama masyarakat setempat –yang pada waktu itu kebanyakan memeluk agama Hindu dan Budha– sehingga arsitekturnya pun banyak mengadopsi corak khas arsitektur Hindu dan Budha. Seperti gapura masjid yang berukiran mirip wihara dan ukiran-ukiran kayu yang menghiasi hampir setiap sudut masjid yang bercorak gaya Hindu dan Budha. Hal ini menjadi keunikan tersendiri dari masjid ini. Di dalam Masjid terdapat sebuah mimbar yang berukiran unik, upeti dari Adipati Palembang kepada Sultan Agung. Di halaman masjid terdapat pelataran yang luas dengan beberapa pohon sawo kecik, serta sebuah Bedug berukuran besar yang umurnya sudah sangat tua, setua Masjid Agung Kotagede itu sendiri.

Di sebelah selatan Masjid, terdapat kompleks makam para Pendahulu Kerajaan Mataram serta kerabat keluarga kerajaan yang dulunya juga merupakan tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan. Di antara gapura pertama sebelum memasuki gapura kedua, terdapat sebuah bangsal duda (sekarang menjadi koperasi). Melewati gapura kedua, sebuah kompleks menjadi pembatas sekaligus jalur penghubung menuju makam dan Sendang Saliran (tempat pemandian). Pada kompleks ini terdapat kantor, gudang, bangsal pengapit lor, dan bangsal pengapit kidul. Di sebelah barat kompleks, kita akan menemukan gapura lagi yang menghubungkan ke kompleks makam. Memasuki kompleks makam, wisatawan diwajibkan memakai pakaian adat Jawa dan melaksanakan tahlilan (doa) sebelum memasuki makam. Jika Anda tidak membawa pakaian adat Jawa, jangan khawatir, di kompleks tersebut juga ada penyewaan pakaian adat Jawa dengan harga sewa Rp. 15.000, - per pakaian. Setelah melewati sekitar 720 makam, kita akan sampai ke bangunan utama yang menjadi tempat bersemayam keluarga besar kerajaan. Di antaranya Nyai Ageng Nis dan P. Djoyo Prono yang merupakan eyang dari Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan (ayah dari Panembahan Senopati), Panembahan Senopati hingga Kyai Wonoboyo Mangir, menantu sekaligus musuh Panembahan Senopati yang makamnya setengah berada di luar bangunan menjadi keunikan tersendiri di makam ini. Konon kematian Kyai Ageng Mangir disebabkan kepalanya dibenturkan ke batu yang menjadi singgasana Panembahan Senopati oleh Panembahan sendiri. Batu itu sendiri masih bisa dilihat di sekitar 100 meter sebelah selatan kompleks Masjid. Di sebelah selatan makam terdapat tempat pemandian yang terbagi menjadi Sendang Kakung untuk lelaki dan Sendang Putri untuk perempuan.

Di Kotagede ada rumah sangat unik yang disebut dengan nama Rumah Kalang, yaitu rumah kuno yang dibangun oleh almarhum Pawiro Suwarno pada 1920an, seorang pengusaha kaya Kotagede pada masanya. Orang Kalang merupakan pendatang yang diundang oleh Raja untuk menjadi tukang ukir perhiasan kerajaan. Keunikan Rumah Kalang ini adalah adanya perpaduan unsur Jawa dan Eropa, yaitu joglo yang dijadikan rumah induk terletak di bagian belakang, dan di depan bangunannya bercorak Eropa. Bangunan Eropa ini cenderung ke bentuk barok, Corinthian, dan doriq. Rumah bergaya campuran Jawa dan Eropa ini yang sekarang menjadi milik keluarga Ansor terletak sekitar 300 meter di utara Pasar Gede. Sambil menikmati keindahan arsitektur masa lampau, kita bisa membeli kerajinan perak yang diukir indah oleh tangan-tangan terampil di galeri-galeri perak yang banyak terdapat di sana serta menikmati santapan lezat di restoran-restoran berarsitektur unik ini.

Kerajinan perak sendiri merupakan budaya turun-temurun. Pada awalnya kerajinan di Kotagede berupa emas, perak, dan tembaga. Namun seiring waktu, kerajinan peraklah yang paling diminati. Sehingga para pengrajin lebih banyak memilih untuk mengolah perak hingga sekarang. Saat ini, kerajinan ini sudah diekspor ke manca negara. Di Kotagede juga terdapat pabrik coklat Monggo, sebuah produk coklat asli Yogyakarta. Di sana kita diperbolehkan masuk ke dalam pabriknya (kecuali pada hari Minggu) untuk melihat sendiri dari dekat proses pengolahan coklat super enak tersebut.

Lokasi dan Fasilitas   

Kotagede terletak sekitar 10 kilometer di sebelah tenggara jantung kota Yogyakarta, tepatnya di Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta. Wilayah Kecamatan Kotagede sebagian merupakan bagian dari bekas kota tua Kotagede ditambah dengan daerah sekitarnya. Sedangkan bagian lain dari bekas kota tua Kotagede berada di wilayah Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Fasilitas dan akomodasi di Kotagede sudah cukup lengkap. Kita dengan mudah bisa menemukan hotel, restoran, warung, toko suvenir dan oleh-oleh, mesin ATM, pom bensin, warnet, penjual pulsa, dan lain sebagainya. Lokasinya pun sangat mudah dijangkau dan dapat diakses dari mana-mana. Di Kotagede, kita juga bisa mengikuti kursus membuat kerajinan perak, baik short term course (beberapa jam) maupun medium term course (beberapa hari). Untuk memasuki kawasan Kotagede tidak dipungut tiket masuk apapun, kecuali tarif parkir kendaraan kita. 
 
sumber : Kota Gede

Tidak ada komentar:

Posting Komentar