Selasa, 20 Maret 2012

berburu ikan sidat




Pantai Selatan Indonesia menyediakan bibit sidat secara melimpah dan cuma-cuma. Pasar luar negeri pun siap menampungnya bahkan berani mematok dengan harga tinggi. Namun hingga saat ini pembudidaya sidat masih sepi peminat. Peluang yang disia-siakan?

Kelezatan olahan belut bisa jadi banyak yang sudah membuktikannya. Tapi bagaimana dengan sidat? Mendengar nama binatang ini, mungkin sebagian dari Anda ada yang mengernyitkan dahi. Bisa dimaklumi, selain jarang dijumpai di pasar ikan, karena harganya yang tergolong mahal, sidat ternyata kalah popular dengan saudaranya yakni belut.

Meski terlihat mirip, menurut Halim, sidat bukan belut. Secara fisik belut memiliki bentuk kepala lancip dan bulat, sedangkan hewan yang juga dikenal dengan nama moa ini mempunyai bentuk kepala segitiga, badan berbintik-bintik, dan ekor yang mirip ekor lele. Sidat juga bukan belut berkuping. Karena, yang selama ini dianggap telinga, sebenarnya adalah sirip.

Dilihat dari ukurannya, panjang tubuh belut akan mentok di kisaran 60 cm. Sedangkan panjang sidat berkisar 80 cm−100 cm (sumber lain menyatakan, panjang sidat bisa mencapai 125 cm, red). Bobot terberat binatang ini juga bisa menyentuh angka 1 kg. Bahkan, di Pulau Enggano, Propinsi Bengkulu beratnya bisa sampai 10 kg!

Uniknya, permintaan akan sidat justru lebih banyak datang dari luar negeri terutama negara di kawasan Asia Timur. “Untuk pasar ekspor, dulu sidat yang diminta seberat 200 gr−250 gr. Sekarang permintaan lebih banyak untuk sidat yang beratnya lebih 500 gr tapi kurang dari 1 kg. Harga belinya Rp90 ribu, tapi kami menawarkan Rp120 ribu per ekor,” ujar pria, yang biasa disapa Pak Haji ini.

Untuk baby sidat, Pak Haji melanjutkan, pasar ekspor berani membayar Rp700 ribu−Rp900 ribu per kilogramnya lebih tinggi dari pasar lokal yang mematok harga Rp400 ribu−Rp600 ribu per kilogramnya. “Satu kilogram berisi 5 ribu−7 ribu ekor baby sidat berumur sehari dan berukuran 2 inci," jelas supplier sekaligus pelatih pembesaran sidat ini.

Benih sidat yang disediakan oleh alam secara gratis dan melimpah ini, dapat diperoleh di sepanjang Pantai Selatan hingga Filipina. Hewan tersebut sering muncul ke permukaan pantai saat tak ada cahaya bulan. "Dulu, saya memperolehnya di Cilacap. Tapi, ukurannya agak besar. Sementara, untuk yang masih baby, banyak terdapat di sepanjang Pantai Selatan," kata kelahiran Brebes, Jawa Tengah, 67 tahun lalu itu.

Di samping yang bermotif polos, ia menambahkan, ada juga sidat (Latin: Anguilla Sp, red.) yang bermotif kembang, yang banyak dijumpai di Indonesia Bagian Timur. "Rasanya sih sama saja, sangat gurih. Karena, ia mengandung minyak dan protein tinggi," ucap Pak Haji, yang memiliki stok 1 ton sidat jenis Anguilla Marmorata ini.


sumber : sidat

1 komentar:

Bego' mengatakan...

Sayang ya papi yang kesepian. Sidat yg merupakan peluang belum dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Saya yg notabene tunakarya dan tunawisma sangat tertarik membaca ulasan anda. Namun ketika saya berada dipantai selatan pulau Jawa, masyarakat pantai tani nelayan tradisionalnya banyak dan mayoritas terkontaminasi dengan kridha lumahing asta alias nyadong. Keinginannya serba instan kaya mie aja. Saya belajar cari glass eel, saya belajar berburu elver bahkan berburu anguilla bicolor juga mamorata di dam dan hulu sungai baik mancing maupun pasang bubu. Dan menurut pendapat saya yang ramah lingkungan dan mengacu pada pelestarian adalah menangkap dengan bubu. Dengan alat ini sidat tertangkap hidup tidak cacat ataupun terluka, serta bisa dipelihara sampai jumlah banyak. Siapa diantara pembaca yang sudi bekerjasama dengan saya menjadi pembudidaya sidat pemburu dengan alat yang ramah lingkungan??? Call saya di begovanndesokluthuk at gmail dot com

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...