Menjadi tua adalah sebuah keniscayaan. Tanpa mengabaikan
fakta bahwa ada sebagaian orang yang tetap prima pada usia lanjut, namun secara
umum fisik mengalami gejala kemunduran.
Hari hari yang berlalu ternyata begitu konsisten memberikan
jatah usia sembari mematahkan kerutan
kerutan halus di kulit. Mata yang awalnya awas, secara perlahan tapi pasti
menjadi redup. Rambut yang dulu hitam lebat , kini bukan hanya menipis, tetapi
sebagian juga berubah warna menjadi keperakan. Ketika berdiri bersama anak muda
usia dua puluhan, kita baru sadar kalau tubuh sudah agak condong ke depan. Dada
yang tadinya tegap kini malah maju
olehperut yang semakin menggembung.
Sate kambing , tongseng atau tengkleng pada masa lalu begitu
nikmat. Kini dihindari karenadua alasan, pertama, karena sebagian gigi kita
telah usai menunaikan tugasnya dan kini pergi entah ke mana. Kedua karena duet
penyakityang amat populer “kolestrol dan tekanan darah tinggi”.
Berbagai penyakit yang dulu hanya kita baca di majalah, kini
mulai mampir dan ada yang kerasan tinggal di tubuh kita. Topik pembicaraan
dengan teman mulai berubah, dari yang dulu mengenai pekerjaan ini dan itu,
peluang ini dan itu, kini kita lebih suka membicarakan mengenai pengobatan
alternative atau terapis yang tokcer.
Ah, sepertinya baru kemarin sore kita mencecap kemudaan.
Kilasan kilasan fast motion masa lalu saat kita kecil, tumbuh dewasa, menikah
dan memilki anak,rasanya baru sekedipan mata.Tapi itulah ketentuan Allah “Azza
Wa Jalla”. Pergantian waktu adalah salah satu bukti kekuasaan Nya. Tak ada yang
dapat menghentikannya kecuali jika dia sendiri yang berkehendak. Menjadi tua
tidak bisa dilawan dengan menggunakan kosmetik, mengecat rambut, operasi plastic
atau berdandan ala anak muda.
Serbuan informasi global sering menggemakan ketakutan untuk
menjadi tua dan menyebarkan obsesi untuk terus muda. Banyak orang yang terbawa
arus dan mengamini bahwa menjadi tua adalah bencana. Benarkah demikian?
Sebenarnya, tradisi timur menawarkan cara pandang yang berbeda terhadap
ketuaan. Tradisi timur amat menghargai ketuaan. Orangtua tidak lagi dipandang
dari sisi keunggulan fisik, melainkan pada kualitas internal seperti kearifan, kebijaksanaan, dan keteladanan.
Kaum muda secara otomatis akan takzim pada orangtua karena hal hal tersebut.
Agama kita tidak mengajarkan manusia untuk bersusah payah
agar selalu muda di dunia yang jelas jelas fana ini, melainkan bagaimana kita
bisa mulai dan “hidup abadi” dengan apa yang kita tanam semasa hidup. Salah
satunya adalah bagaimana kita menyiapkan anak anak untuk menjadi generasi yang
tangguh, kuat sekaligus sholih dan sholihah. Generasi yang seperti ini akan mampu mengalirkan
kebaikan yang melintasi alam bagi generasi terdahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar