Dieng Plateau, Nirwana Sunyi Anak-anak Gimbal
Dieng
adalah nirwana dunia di Tanah Jawa. Bumi vulkaniknya terukir beraneka
ragam keindahan, kesuburan dan kekayaan alam yang luar biasa. Pesona
budayanya terhampar berserakan mewarnai setiap sudut ruangnya. Namun itu
tak cukup. Teristimewa ada manusia ‘indigenous’ yang unik sarat nuansa
mistik. Anak Gimbal Dieng. Kehadirannya menjadi perhiasan yang
mengagungkan Dieng, Negeri Para Dewa.
Intan
Rahmidiani (4) dipanggul ayahnya menuju ke beranda tangga Candi
Puntadewa. Senyumnya sumringah menebarkan ceria. Lambaian tangannya
memantik tepuk tangan meriah. Bocah gimbal hitam manis ini menjadi pusat
pandangan puluhan ribu pasang mata di Kompleks Candi Arjuna. Giliran
Intan menjalani prosesi sakral Ruwatan Anak Gimbal Dieng.
Tak
sedikitpun ketegangan terpancar dari raut mukanya. Meskipun ia hendak
dicukur habis rambut gimbalnya. Di muka Candi, Tokoh Adat Dieng Kulon,
Mbah Naryono dan Kapolres Banjarnegara telah siap setia menantinya.
Sesampai
di singgasana upacara, Intan duduk manis dipangku ayah tercintanya.
Meski tahu akan dicukur oleh ‘Bos’ Polisi Banjarnegara, nyali Intan sama
sekali tak ciut. Tampak ia telah siap seratus persen. Senantiasa tenang
pembawaannya dengan senyum manisnya yang tak habisnya merekah.
Saya juga telah siap. Siap menyaksikan secara cermat Intan menjalani sakralitasnya.
Tadinya
saya di belakang. Namun, spesial untuk Intan, saya merengsek ke depan.
Saya harus berkompetisi dengan puluhan ribu saksi mata lainnya. Ruwatan
Anak Gimbal kali ini memang terkesan meriah karena dikemas dalam acara
Dieng Culture Festival 2012.
Seperti
biasa, di barisan terdepan adalah fotografer profesional atau sok
profesional dengan piranti fotografinya yang kadang tampak berlebihan:
kamera canggih dengan lensa telenya. Beberapa di antaranya adalah
serdadu-serdadu media.
Di
belakangnya, para maniak-maniak acara dari luar daerah berdiri
mengamati. Entah mereka memaknai atau sekedar ingin eksistensi. Sesekali
mereka narsis berfoto dengan background prosesi. Lengkap berbumbu senyum artifisialnya.
Dan,
lebih belakangnya lagi sampai terbelakang. Berdiri masyarakat setempat
yang sejatinya lebih berkepentingan dan tahu makna ritual. Mereka
tampaknya harus mengalah. Atau, memang mereka telah berupaya tapi kalah.
Kadang inilah yang kurang saya sukai. Setiap acara yang sarat makna
seperti ini, hanya menjadi ajang untuk mengabadikan eksistensi,
alih-alih membumikan esensi. Masyarakat setempat terpinggirkan.
Dengan perlahan tapi pasti, akhirnya saya menemukan titik muka. Meski tidak mendapat ‘front row’,
cukup puas saya berada di barisan nomor dua. Kini, saya cukup leluasa
menikmati prosesi Ruwatan Rambut Gimbal Intan. Paling berharga saya
tidak terlambat dan terhambat. Menyaksikan sakralitas Intan tanpa
hambatan kepala-kepala manusia.
Prosesi
dimulai. Ikat putih kepalanya dibuka. Rambut gimbalnya terurai
menjulur-julur keluar. Kapolres mulai memangkas mahkota rambut Intan.
Satu gimbal berhasil dipotong. Berikutnya, gimbal di sebelahnya.
Seterusnya ke gimbal lainnya sampai habis. Mbah Naryono, di sampingnya,
cermat memandu dan mengawasi prosesi. Setelah habis, potongan rambut
gimbal itu dipamerkan tinggi-tinggi Kapolres kepada pengunjung. Bukti
prosesi telah sukses mencukur rambut gimbal Intan.
Kini
Intan telah berubah. Rambut gimbalnya tak ada lagi. Mahkotanya sama
lagi seperti anak normal lainnya. Lurus, tanpa ada gimbal yang menghiasi
kepalanya lagi. Hanya rambutnya semakin pendek. Cepak. Kali ini, ia
lebih mirip seorang bocah laki-laki yang manis.
Intan
kembali dipanggul oleh ayahnya. Seperti saat menuju prosesi, Intan juga
melambaikan tangannya kepada pengunjung. Dia tampak sangat bergembira.
Senyum tawanya merekah lebar. Sebuah senyum kemenangan.
Dan,
suasana kali ini lebih meriah. Setiap lambaian tangannya, para
pengunjung langsung bertepuk tangan gegap gempita. Seakan baru saja
negeri Dieng bak menahbiskan Intan menjadi ratu barunya.
Meski
begitu, Intan tak sendirian menjadi ‘Ratu Dieng’ saat itu. Ia berbagi
tahta dengan lima anak gimbal lainnya mengikuti prosesi Ruwatan Anak
Gimbal. Mereka adalah Baqiyatus Izah, Nur Hikmah, Muhammad Farkhan
Askataslini, Nadia Retnowati, Indischa Azzahra Pradestaraya. Kesemuannya
adalah putri-putri Dataran Tinggi Dieng. Mereka semua dinobatkan
menjadi ratu-ratu di Negeri Para Dewa pada Ruwatan kali ini.
Hanya
saja, Intan tetap yang paling istimewa. Setidaknya demikian penilaian
saya dan ribuan penonton lainnya. Buktinya, dibanding anak gimbal lain,
dialah yang paling mengundang tawa dan tepuk tangan gempita. Lainnya,
hanya berekspresi biasa dan datar. Itu pun setengah malu-malu. Malah,
ada satu bocah gimbal yang menangis keras setelah selesai diruwat.
Kepada
Intan, saya tidak bisa untuk tidak ikut mengapresiasinya. Berkali-kali
saya larut spontan bertepuk tangan setiap kali ia tersenyum dan
melambaikan tangan.
Anak Gimbal dan Kontrarasionalitas
Mengusik
rasionalitas. Begitulah bagi saya saat mencerna fenomena Anak Gimbal
Dieng. Meski sebenarnya saya paham rasionalitas memiliki keterbatasan,
tetapi di Dieng keterbatasan itu menemukan buktinya secara telanjang.
Menyedihkan bagi segala rasionalitas saya.
Binatang
buas rasionalitas saya tak cukup kuasa menerkam ritus-ritus tradisional
leluhur Dieng. Ia harus tunduk dan turut pada realitas
kontrarasionalitas yang penuh mistika. Maka, saya harus mengkandangkan
binatang rasionalitas dalam jeruji kerangkeng besi. Menguncinya
erat-erat. Mungkin dalam hal ini, demikian adalah pilihan yang lebih
baik.
Dengan
begitu, realitas anak gimbal dengan rambut gimbalnya akan berhasil saya
nikmati secara lezat. Barangkali andaikan saya memaksa mengandalkan
rasionalitas, mungkin saya masih bisa melihatnya. Tapi, bersiaplah saya
hanya bertemu dengan ruang hampa tanpa makna. Hanya sekedar fenomena.
Lantaran
awam, saya mencerna rambut gimbal mulai dari wujudnya. Dari yang paling
bisa dikenali indera. Sepintas, rambut gimbal mirip dengan rambut
bergaya Reggae bercita rasa rasta. Saya membandingkannya dengan Bob
Marley, dedengkot reggae. Bagi pemiliknya, rambut ala reggae adalah
ungkapan seni dirinya. Boleh dikatakan rambut menggimbal ala reggae
adalah simbol dari sebuah identitas.
Namun,
bagi anak gimbal Dieng, memiliki rambut gimbal bukanlah kehendak
mereka. Bukan dibuat dengan pergi ke salon. Rambut gimbal mereka
terbentuk alami. Tumbuh dengan sendirinya tanpa ada rekayasa. Konon,
rambut gimbal adalah sebuah anugerah leluhur Dieng.
Dari
wujudnya, antara helaian-helaian rambut gimbal saling merekat dan
mengikat. Sampai-sampai tidak bisa disisir. Rambut gimbal bisa tumbuh
hanya satu ikat. Atau bisa tumbuh paling sempurna, yakni banyak ikat
yang disebut rambut gimbal jenis “pari” atau padi. Sedikit anak yang
bisa tumbuh sampai gimbal jenis pari ini.
Tadinya
saya menganggap bahwa rambut gimbal adalah persoalan genetik yang bisa
diwariskan turun temurun. Tapi, ternyata bukan. Kemunculannya acak.
Tidak bisa diprediksikan. Kalau dalam istilahnya Nassim Nicholas Taleeb –
pakar probabilitas, kemunculan rambut gimbal bisa dianggap sebagai
Black Swan.
Tidak
seperti angsa berwarna putih. Angsa berwarna hitam adalah hal yang
langka, acak dan tidak terprediksikan. Rambut gimbal tumbuh pada
anak-anak Dieng secara acak, tidak berpola tertentu. Dengan
kata lain, tidak ada seorangpun yang tahu kapan dan siapa anak yang
akan menerima anugerah ini. Ia adalah Black Swan.
Ini
jelas menggelitik. Sampai-sampai, binatang rasionalitas yang sudah saya
kandangkan dalam jeruji-jeruji besi berusaha memberontak. Berusaha
mencari pembuktian di ranah ilmiah. Sayangnya, itu percuma. Buang-buang
tenaga saja. Saya tak menemukan (atau memang belum menemukan)
justifikasi ilmiah untuk rambut Gimbal. Berbagai penelitian untuk
menyingkap sebab ilmiah fenomena rambut gimbal belum membuahkan hasil.
Munculnya
rambut gimbal membuat saya penasaran muasalnya. Saya mengulik informasi
dari seorang Pak Hansip yang menjaga prosesi. Meski cukup sibuk, ia
tetap ramah dan sumringah ditanyai orang luar daerah seperti saya. Ia
layak dinobatkan Duta Wisata Dieng. Sayangnya, saya lupa namanya. Inilah
buruknya saya, seringkali lupa dengan nama seseorang yang pertama kali
saya jumpai.
Pada
mulanya rambut anak-anak Dieng tumbuh normal. Pada fase tertentu,
sekitar usia dua tahunan, si anak akan terserang sakit panas tinggi
selama beberapa hari. Anehnya, itu tak bisa sembuh dengan obat. Sakit
panas itu hanya akan sembuh dengan sendirinya. Sakit panas yang sangat
tinggi ini adalah awal mula tumbuhnya rambut gimbal. Setiap kali rambut
gimbal kembali tumbuh, sakit panas itu kembali berulang. Makanya, anak
gimbal akan sering sakit-sakitan.
Dalam
kesehariannya, anak-anak gimbal tidak berbeda dibandingkan
teman-temannya. Perlakuan orang-orang kepadanya juga biasa saja, tidak
spesial. Hanya saja mereka cenderung lebih aktif, kuat, suka rewel dan
agak nakal. Menariknya, apabila bermain dengan sesama anak gimbal,
pertengkaran cenderung sering terjadi antara mereka.
Hingga
suatu waktu, si anak gimbal akan meminta untuk dicukur rambut
gimbalnya. Saya bertanya dalam hati: dicukur tinggal dicukur. Pergi ke
tukang cukur sudah beres. “Gitu aja kok repot?” dalam hati saya
berparsimoni.
Ternyata
tidak segampang itu. “Pencukuran rambut gimbal harus melalui suatu
Ruwatan.” ungkap Pak Hansip. Tidak boleh sembarangan dicukur. Kalau
sembarangan, rambut gimbal itu tumbuh kembali. Bahkan akan semakin
menggimbal.
Anehnya
lagi, si anak gimbal ketika diruwat tak cukup minta dicukur saja. Ia
akan menyertainya dengan suatu permintaan. Ia memiliki keinginan yang
harus dipenuhi orang tuanya sebelum dilaksanakan Ruwatan. Apapun itu
keinginannya harus dituruti! Kalau pencukuran dipaksa tidak disertai
pemenuhan keinginan terlebih dulu, anak gimbal itu bisa jadi linglung
bahkan gila.
Wah,
kemudian rasionalitas saya ingin menjadi oportunis. Andaikan menjadi
anak gimbal, saya ingin pesawat terbang, mobil atau motor yang mahal.
Namun, sayangnya saya bukan anak gimbal. Dan, untungnya keinginan anak
gimbal itu tidaklah seoportunis saya.
Intan
meminta lima mangkuk bakso dan seekor ayam jago. Baqiyatus meminta
sebuah sepeda dan 10 butir telur ayam. Nur meminta anting-anting.
Askataslini meminta seekor kambing. Nadia meminta uang jajan Rp100 dan
Rp1.000, serta Indischa meminta dua permen Milkita dan dua dus minuman
Milkuat. Bagi kita yang mendengarnya, permintaan mereka terkesan unik
dan lucu. Namun, mau bagaimana lagi. Seperti begitulah yang diminta oleh
anak-anak gimbal.
Demikian
saat ruwatan sekarang. Relatif sederhana dan mudah dipenuhi.
Sebelumnya, menurut Pak Hansip, pernah ada yang meminta ular yang
besarnya satu pohon besar. Permintaan ini jelas sangat susah. Sampai
sekarang, permintaan itu tidak terpenuhi orang tuanya. Kini anak gimbal
itu telah dewasa. Dan sedihnya, ia menjadi sakit gila karena tidak
berhasil diruwat. Jujur, dalam hati saya merasa ngeri andaikan keinginan
anak gimbal tidak terpenuhi.
Saya
lantas berpikir, apakah tidak sebaiknya orang tuanya ‘merekayasa’
permintaan anak gimbal dengan sesuatu yang lebih terjangkau. Misal:
bakso, mainan tradisional atau ayam jago. Sayangnya, pemikiran
rasionalitas itu termentahkan jauh-jauh.
Orang
tuanya tak bisa memengaruhi keinginan anak gimbal. Keinginan anak
gimbal harus muncul dari dirinya sendiri. Namun begitu, konon keinginan
mereka sebenarnya berasal dari makhluk gaib yang ‘mendampingi’ mereka,
‘mendiami’ rambut gimbalnya. Maka, kelihatannya seolah-olah yang
menyebutkan adalah dari mereka sendiri, si Anak Gimbal.
Menjalani Prosesi
Bagaimana
melakukan Ruwatan Anak Gimbal? Masyarakat Dieng memiliki dua pilihan
menu. Bisa memilih secara mandiri atau massal. Pertimbangannya
menyesuaikan kemampuan keluarga yang meruwat anak gimbalnya.
Jika keluarganya sendiri bisa memenuhi permintaan
dan memiliki biaya menyelenggarakan, ruwatan secara mandiri bisa
dilaksanakan. Namun, jelas ruwatan secara mandiri membutuhkan biaya
besar. Harus menanggung segala biaya seremoni ruwatan. Saya bisa
bayangkan pasti hanya keluarga ‘borjuis’ Dieng yang bisa melakukan
ruwatan Anak Gimbal secara mandiri.
Maka,
masyarakat Dieng lebih banyak memilih meruwat anak gimbalnya secara
massal. Masyarakat ‘urunan’ gotong royong melakukan ruwatan. Biaya dan
tenaga ruwatan ditanggung bersama. Tentunya, ruwatan secara massal ini
juga akan lebih meriah. Ribuan masyarakat Dieng berbondong-bondong
datang memenuhi lokasi. Bisa dikatakan, ruwatan massal sekaligus menjadi
pesta rakyat Dataran Tinggi Dieng.
Lazimnya,
setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa atau bulan Agustus adalah saat
pelaksanaan Ruwatan. Namun, ruwatan tetap bisa dilaksanakan di luar
waktu lazimnya. Tak jadi masalah kapanpun ruwatan dilakukan. Seperti
kali ini, ruwatan massal dikemas bebarengan dengan Dieng Culture
Festival (DCF), 30 Juni – 1 Juli 2012.
Dengan
dibarengkan DCF 2012, saya mengamati hajatan Ruwat Anak Gimbal sukses
menjadi komoditas wisata bagi masyarakat dan pemerintah. Nyatanya ribuan
turis dari penjuru negeri mengunjungi Dieng saat DCF. Datangnya
turis-turis mendongkrak pendapatan bagi masyarakat dan pemerintah.
Ruwatan Anak Gimbal Dieng adalah berkah ekonomi bagi Dieng.
Dalam
pelaksanaannya, prosesi ruwatan ditandai dengan pembacaan doa di rumah
Pemuka Adat Dieng terlebih dulu. Kemudian dilanjutkan dengan kirab
arak-arakan Anak Gimbal yang diruwat menuju Kompleks Candi Arjuna.
Halaman rumah Pemuka Adat menjadi tempat pemberangkatan Kirab. Kirab ini
menyertakan barang-barang permintaan Anak Gimbal dan ‘uborampe’ sesaji
berupa nasi tumpeng, ayam panggang, dan jajanan pasar. Kirab juga
dimeriahkan dengan beragam pentas seni dari penduduk sekitar.
Kirab
berjalan dengan mengelilingi kawasan Dieng sebagai upaya napak tilas.
Napak tilas ini menuju beberapa tempat, yaitu candi Dwarawati, komplek
candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Bima, sendang Maerokotjo, telaga
Balekambang, kawah Sikidang, komplek pertapaan Mandalasari, kali Kepek
dan komplek pemakaman Dieng. Pada saat kirab berjalan, para anak gimbal
akan dilempari beras kuning dan uang koin.
Kirab
lalu singgah ke Dharmasala untuk dilakukan jamasan Anak Gimbal di
Sendang Sedayu. Tatkala memasuki sendang Sedayu, anak-anak gimbal
berjalan dinaungi oleh Payung Robyong di bawah kain kafan panjang di
sekitar sendang sambil diiringi musik Gongso. Air untuk jamasan tersebut
ditambah kembang tujuh rupa (sapta warna) dan air dari Tuk Bimalukar,
Tuk Sendang Buana (Kali Bana), Tuk Kencen, Tuk Goa Sumur, Kali Pepek dan
Tuk Sibido (Tuk Pitu).
Setelah
penjamasan selesai, anak-anak rambut gimbal dikawal menuju tempat
pencukuran, yakni di kompleks Candi Arjuna. Prosesi pencukuran rambut
gimbal merupakan puncak prosesi Ruwatan Anak Gimbal.
Prosesi
Ruwatan pencukuran Rambut Gimbal dipimpin langsung Pemuka Adat Dieng.
Namun begitu, orang yang mencukur tidak harus Pemuka Adat Dieng.
Orang-orang yang ditunjuk adat, misal Bupati dan Pejabat Pemerintah
dapat menjadi pencukur rambut Anak Gimbal. Pencukuran dilakukan di
halaman Candi Puntadewa, Kompleks Candi Arjuna. Setelah rambut gimbal
selesai dicukur, potongan rambut itu diletakkan pada cawan berisi air
dari Bima Lukar dan bunga setaman.
Setelah
pencukuran, acara dilanjutkan dengan doa dan tasyakuran. Lalu, semua
‘uborampe’ prosesi dibagikan kepada para pengunjung. Konon ceritanya itu
dapat membawa berkah pada yang membawanya.
Ritual
terakhir dalam ruwatan anak gimbal adalah melarung potongan rambut.
Larung dilakukan di tempat yang terdapat air yang mengalir ke pantai
selatan Jawa. Lokasi larung rambut gimbal ini dilakukan di Sendang
Sukorini, Kali Tulis. Biasanya juga dilakukan di Telaga Warna.
Tempat-tempat itu memiliki hubungan dengan Samudera Hindia.
Titisan Leluhur Dieng
Demikianlah
yang telihat di permukaan. Masih bongkahan kokoh puncak-puncak gunung
Gimbal Dieng dan Ruwatannya. Sekarang, saya ingin berpetualang lebih
jauh menyusuri lembah sejarah leluhur Dieng yang ‘dingin’. Sedingin
Dieng saat saya datang. Suhu udara Dieng saat itu mendekati nol derajat
di pagi hari. Siangnya, meski cerah bermentari, tetap saja Surya tak
mampu menyapu dinginnya Dieng. Begitulah kondisi Dieng tatkala memasuki
bulan-bulan kemarau.
Untuk
menghangatkan badan, saya menyibukkan diri mencari tahu apa di balik
semua kontrarasionalitas Anak Gimbal Dieng. Pilihan yang tepat adalah
menguliknya berdasar cerita rakyat Dataran Tinggi Dieng. Saya percaya
kadangkala cerita rakyat bisa mengkaribkan rasionalitas dengan
kontrarasionalitas. Ia biasanya lezat dibungkus dalam balutan selimut
sejarah.
Konon
kabarnya, Anak Gimbal Dieng adalah titisan dari Kyai Kolodete. Kyai
Kolodete dianggap sebagai luluhur pendiri Dieng. Leluhur ini bukan
sesosok gaib, melainkan sesosok manusia yang pertama kali membuka tanah
Dieng. Ia hidup pada masa kejayaan Mataram. Kyai Kolodete ini memiliki rambut gimbal.
Syahdan,
Kyai Kolodete dikenal sebagai seorang pemimpin, seorang penasihat dan
seorang yang sangat berpengaruh dalam masyarakat di daerah Kawedanan
Kertek dan sekitarnya. Jabatan formalnya adalah sebagai kebayan desa
Tegalsari, Kertek, Wonosobo.
Kyai
Kolodete berkeinginan bisa memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan
keluarga dan masyarakatnya. Maka, agar keinginannya lebih bisa
direalisasikan, beliau bermaksud menjadi Lurah. Maksud ini mendapat
dukungan kuat dari masyarakatnya. Masyarakat sudah menganggap bahwa dari
sifatnya dan sikapnya, Kyai Kolidete dipandang telah memenuhi syarat
sebagai Lurah.
Pada
suatu hari, Kyai Kolodete mencalonkan diri untuk menjabat sebagai
sebagai Lurah. Permohonan ini diajukan ke pemerintah pusat, yaitu
Mataram. Namun, tanpa diketahui alasannya, permintaan itu
ditolak. Ditolaknya permintaan itu membuat hati masyarakat menjadi
kecewa.
Demikian
juga dengan Kyai Kolodete. Beliau merasa malu terhadap rakyatnya.
Sebagai pertanggungan jawab atas ditolaknya permohonan tersebut, beliau
ingin mengasingkan diri dari keramaian dan ingin bertapa di Dataran
Tinggi Dieng. Sebelum bertapa, beliau berpesan kepada rakyatnya:
“Mung semene wae anggonku njuwita Pamarintah, aku arep menjang Dieng“ (Hanya sampai sekian aku mengabdi kepada Pemerintah, aku akan ke Dieng)
Dalam
setiap doanya, beliau memohon kepada sang Khaliq supaya cita-citanya
dahulu, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan masyarakat, bisa
terkabul. Meski ia jauh menyepi tetapi ia tetap begitu mencintai
rakyatnya. Tanda bukti kecintaan Kyai Kolodete kepada masyarakatnya
berharap bisa direstui sang Khaliq. Tanda bukti itu ialah supaya anak
cucunya nanti di kemudian hari akan berambut gembel seperti halnya
rambut Kyai Kolodete. Dan, permohonan itu benar-benar dikabulkan sang
Khaliq.
Sampai
sekarang di Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya banyak terdapat anak
berambut gimbal. Oleh masyarakat, anak berambut gimbal ini disebut Anak
Gembel dan dianggap titisan Kyai Kolodete yang berkekuatan gaib itu.
Saya dapatkan cerita tersebut dari referensi ilmiah yakni, skripsi S1 Antropologi Yudi Febrianda tentang “Mitos Anak Gembel di Dataran Tinggi Dieng”, 2003, yang diupload di catatansikudaliar.blogspot.com. Penelitiannya
ini dilakukan di Desa Dieng Wetan, Kec. Kejajar, Kabupaten Wonosobo
berdasarkan cerita masyarakat yang berkembang di sana. Namun, cerita itu
bukan versi satu-satunya tentang Kyai Kolodete dan Anak Gimbalnya.
Ada
versi cerita lain tentang Kyai Kolodete dan rambut gimbal yang
berkaitan dengan mitos Nyi Roro Kidul, penguasa Ratu Selatan Jawa.
Cerita ini disadur dari penuturan Mbah Naryono, pemangku adat Dieng
Kulon, Kec. Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Syahdan, datangnya
rambut gimbal sebenarnya berasal dari Ratu Laut Kidul. Ratu Laut Kidul
menitipkan rambut gimbal kepada Tumenggung Kolodete. Tumenggung Kolodete
adalah seorang panglima dari Keraton Yogyakarta yang sedang
mengasingkan diri di kawasan Dieng.
Singkatnya,
keturunan gaib dari Tumenggung Kolodete akan mempunyai rambut gimbal.
Keturunan gaib ini adalah anak bajang titipan Nyi Roro Kidul. Suatu saat
rambut gimbal anak bajang akan diminta kembali oleh Ratu Laut Kidul.
Pengembalian rambut gimbal dilakukan melalui ruwatan dimana rambut
gimbal yang diruwat dilarung ke saluran air yang mengalir ke Laut
Selatan Jawa.
Satu
lagi versi cerita tentang Kyai Kolodete. Kali ini saya peroleh
berhubungan dengan sejarah Wonosobo. Konon ceritanya bahwa Kyai Kolodete
merupakan satu dari tiga tokoh yang mendirikan Kota Wonosobo, yakni
bersama dengan Kyai Walik dan Kyai Karim.
Kyai
Walik merancang tata kota Wonosobo. Kyai Karim menjadi peletak
dasar-dasar pemerintahan di Wonosobo.Dan, Kyai Kolodete pergi ke
Wonosobo bagian utara di kawasan Dieng membuat perkampungan. Ketiga
tokoh itu menjalin kerjasama yang erat, saling mendukung dan melengkapi
demi memajukan perkampungan Wonosobo.
Kyai
Kolodete bersama keluarga dan pengikutnya membabat alas Dieng yang
masih perawan. Tujuannya adalah untuk dijadikan perkampungan penduduk,
lahan pertanian, dan ladang sebagai sumber penghidupan. Kyai Kolodete
kemudian diyakini menjadi ‘merkayangan’ atau penguasa Dieng.
Kyai
Kolodete ini memiliki rambut gimbal semenjak kecil. Menurut mitosnya,
lantaran rambut gimbalnya begitu mengganggu, sebelum meninggal Kyai
Kolodete berpesan agar anak cucunya membantu dalam menghadapi gangguan
rambut itu. Maka, diwariskanlah rambut gimbalnya pada anak-anak Dataran
Tinggi Dieng hingga sampai sekarang.
Ada
benang merah yang bisa menghubungkan versi-versi cerita leluhur Dieng
dan muasal Rambut Gimbal. Semua sama-sama membicarakan Kyai Kolodete.
Semua sepakat bahwa Kyai Kolodete adalah leluhur Dieng yang ‘menitiskan’
rambut Gimbal kepada bocah-bocah Dieng.
Sekarang
masalahnya adalah pada saya. Banyaknya versi tentang Kyai Kolodete
membuat saya memiliki pilihan versi mana yang lebih realistis. Mana yang
lebih bisa diterima rasio. Saya bernafsu ingin memutuskan manakah versi
pilihan saya.
Namun saya hentikan. Saya anggap biarkan semua cerita itu bebas memasuki kamar-kamar otak
saya. Biarlah diterima semuanya. Apa adanya. Saya pikir, masing-masing
memiliki sisi yang mendekati rasionalitas. Meskipun demikian adalah sisi
yang terdekat dari yang terjauh. Pada setiap versi Kyai Kolodete, tetap
saja kontrarasionalitas lebih menghegemoni – dalam bahasanya Gramsci.
Bagi
saya yang awam, lebih baik berdamai dengan realitas. Lebih baik
memposisikan Kyai Kolodete sebagai sesosok legenda hidup Dieng. Everlasting Dieng Forever.
Saya melihat keberadaannya hidup pada artefak titisannya: anak-anak
berambut gimbal. Dengan begitu, sosoknya akan lebih bisa terlihat nyata
di hadapan mata. Kyai Kolodete relevan dengan realitas kekinian.
Dan,
seperti itulah ketika saya melihat sosok Intan Rahmidiani. Ia ceria dan
pemberani. Bisa jadi sifat Intan ini adalah secuil gambaran sifat Kyai
Kolodete. Memandangi Intan berarti menghadirkan Kyai Kolodete. Meskipun
saya akui pasti, sekedar menyederhanakan.
Saya
mencoba menghangatkan masa depan. Sebuah harapan. Barangkali disitulah
harapan terakhir untuk rasionalitas saya. Saya mengharapkan ‘kehebatan’
Kyai Kolodete yang legendaris mampu menembus dimensi waktu. Jikalau dulu
Kyai Kolodete telah memberikan manfaat untuk masyarakat Dieng, semoga
Intan dan anak gimbal lainya juga bermanfaat bagi kesejahteraan Dieng
suatu saat nanti.
Tak
sekedar dititiskan gimbalnya, tetapi dititiskan pula kontribusinya
untuk Dieng. Anak Gimbal menjadi harapan penggerak Dieng. Menjadi
lokomotif kemajuan.
Menyempurnakan Pesona Nirwana
Anak
Gimbal adalah fenomena langka. Wujud rambut gimbal yang unik dengan
muasalnya yang mistik. Dikombinasikan ritus ruwatan yang sarat simbolik.
Dalam pandangan saya, demikian adalah sebuah ‘indigenousity’. Anak
gimbal hanya bisa ditemui di Dataran Tinggi Dieng.
Imajinasi
saya lantas terbang tinggi. Bisa jadi ‘indigenousity’ anak Gimbal
melegitimasi muasal kata Dieng yang berbau perdewaan. Dieng berasal dari gabungan dua kata Bahasa Kawi. “Di” yang berarti “tempat” atau “gunung” dan “Hyang” yang bermakna “Dewa”.
Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.
Dieng adalah Negeri Para Dewa. Kehadiran Anak Gimbal adalah demi
mengistimewakan Dieng, Negeri Para Dewa.
Kini
saya lebih realistis. Mendekati Dieng sebagai sepotong daerah di muka
Bumi. Tetap saja Dieng pantas disebut ‘Negeri para Dewa’. Dari pesona
alam dan budayanya, Dieng teristimewa layak sebagai ‘nirwana Dewa’ di
dunia. Dieng menawarkan setiap sudutnya terukir lekuk keindahan,
kekayaan alam serta kesuburan tanah luar biasa. Begitu pula budayanya.
Dieng adalah tempat tersebarnya artefak kuno berabad-abad silam. Dan,
‘Indigenousity’Anak Gimbal Dieng hadir menyempurnakan keistimewaan ‘nirwana’ Dieng.
Kehadiran
saya menyaksikan Ruwatan Anak Gimbal adalah kali ketiga saya
mengunjungi Dieng. Bukan hal yang membosankan meski saya tiga kali telah
menginjakkan kaki di Dieng. Kawasan dataran tinggi yang berketinggian
lebih dari 2000 m ini menyediakan begitu banyak kenikmatan berpetualang.
Kedatangan
pertama ke Dieng adalah sebuah perkenalan. Saya anggap perkenalan
lantaran menemui tempat-tempat yang telah terkenal di permukaan. Ya,
mirip dengan destinasi yang ditawarkan agen wisata. Hanya saja, saya
tidak hadir ditemani agen wisata. Melainkan bersama kawan-kawan
seperjuangan dalam ekspedisi Valentine “Community Lampah-lampah Rajelas”
tahun 2009.
Waktu
itu saya berhasil menyapa terbitnya matahari pagi di Gunung Sikunir
(2.263 m). Dari sana petualangan saya bermula di Dieng. Sikunir adalah
salah satu dari tempat terbaik menikmati sunrise di Indonesia. Makanya, bisa hadir di sana adalah sebuah keberuntungan dan perjuangan. Sunrise Sikunir adalah kombinasi cuaca cerah dengan upaya tak kenal menyerah mendaki setapak menuju puncak.
Matahari
telah meninggi. Saya turun membasuh muka di Telaga Cebong. Telaga ini
setia berada di samping Desa Sembungan. Menghidupi desa tertinggi di
Pulau Jawa. Airnya bersih mengantarkan saya pada pagi hari yang luar
biasa di Dieng.
Berikutnya,
Dieng Plateau Theater. Hanya saja saya belum beruntung. Masih terlalu
pagi. Teater yang menyediakan tontonan kebencanagunungapian Dieng saat
itu belum buka. Candi Bima menjadi destinasi selanjutnya. Menyelami satu
artefak peninggalan Hindu Kuno di abad 7 silam. Kekhasan Candi Bima ada
pada bentuknya yang mirip dengan Candi-Candi di India.
Kemudian,
saya mengejar kijang di Kawah Sikidang. Tapi, jangan tertipu! Tak ada
Kijang di sana. Kawah Sikidang dikenal karena lubang keluarnya gas
selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Dari karakter
inilah nama Sikidang berasal akibat penduduk setempat melihatnya
berpindah-pindah seperti kijang.
Candi
Gatotkaca menjadi persinggahan saya selanjutnya. Sekedar sejenak
berhenti menemuinya yang berada tepat di tepi jalan. Candi Hindu ini
berbentuk bujur sangkar dengan satu pintu di sisi sebelah barat.
Sedangkan pada ketiga sisi dinding yang lain terdapat relung berhias
kala-makara.
Di
seberangnya berdiri Museum Kaliasa Dieng. Berisikan artefak dan cerita
tentang geologi, flora fauna, kehidupan sehari -hari, dan kesenian
daerah Dataran Tinggi Dieng. Saya cukup terpaku memandangnya dari Candi
Gatotkaca. Museum Kaliasa sepertinya baru saja mulai menyongsong hari.
Petualangan
dilanjutkan menyusuri Dieng ke arah Barat. Cukup berharga untuk bisa
menyaksikan instalasi-instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
yang mencengkeram bukit-bukit Dieng. Instalasi-instalasi ini menyedot
energi panas bumi yang begitu kaya terkandung di Bumi Dieng.
Perjalanan
saya kemudian menuju Telaga Merdada. Sebuah telaga yang sepi dan tenang
dengan hiasan dinding perkebunan kentang. Telaga ini terluas di Dataran
Tinggi Dieng. Telaga Merdada cocok untuk menenangkan diri sambil
memegang alat pancing mencoba peruntungan mengail ikan.
Kompleks
Candi Arjuna adalah titik saya beristirahat pada siang itu yang terik.
Kompleks Candi Arjuna terdiri dari candi Arjuna, candi Semar, candi
Srikandi, candi Puntadéwa dan candi Sembadra. Candi-candi ini seakan
mengembalikan saya ke suasana abad 7-8 lampau. Seperti dulu dimaksudkan
sebagai tempat pertapaan, saya pun ‘bertapa’ mengistirahatkan diri.
Sayangnya, semilir angin sejuk dari puncak-puncak Dieng, membuat saya
tertidur di rerumputan yang mengelilingi candi-candi.
Mendung
mulai menggumpal di langit kayangan Dieng. Saya bergegas menuju Telaga
Warna. Konon saat sang surya kuat bersinar, Telaga Warna bisa
menampakkan khasanah warna merah, hijau, biru, putih, dan lembayung.
Sayangnya, kala itu mendung. Saya hanya bisa melihat warna hijau yang
dibalut dengan warna putih. Di tepi telaga Warna, saya mengunjungi Goa
Semar, Goa Jaran, Goa Sumur yang sejuk dipayungi hutan rimbun.
Namun,
pengalaman terbaik di Telaga Warna adalah saat saya bersama kawan-kawan
menuju puncak bukit di tepian Telaga Warna. Menduga jalannya setapak,
tapi kami harus merayap. Kami menembus hutan dengan kemiringan lereng 75
derajat. Dan, hasilnya luar biasa. Kami melihat Telaga Warna
bergandengan tangan dengan Telaga Pengilon di sebelahnya. Telaga Warna
tampak hijau akibat belerangnya. Telaga pengilon tetap bening tidak
terkontaminasi. Padahal hanya dibatasi rawa kecil berhiaskan rerumputan.
Masing-masing menjaga ‘idealismenya’.
Perjalanan
perkenalan diakhiri dengan mencicipi kentang goreng di tempat parkir
Telaga Warna. Sangat renyah. Renyah di sini bukan karena penggorengannya
– api tak mencapai titik didih 100 derajat Celcius di Dieng. Melainkan
karena kentangnya masih segar, langsung diambil dari ladang yang
melimpah ruah. Dataran Tinggi Dieng adalah salah satu penghasil kentang
terbesar di Indonesia.
Setahun berikutnya, saya
datang ke Dieng untuk kedua kalinya pada Mei 2010. Kali ini sebagai
agen wisata sukarela untuk teman saya. Petualangan kedua adalah tentang
Napak Tilas Petualangan Pertama. Destinasi yang dituju merupakan cetakan
ulang petualangan pertama.
Namun, tetap saja saya menyisipkan beberapa tempat tujuan lain. Kesempatan pribadi memperkaya referensi tentang Dieng.
Sumur
Jalatunda adalah salah satunya. Sumur Jalatunda ibarat lubang raksasa
di Dieng yang dipenuhi mitos. Konon, masyarakat setempat memercayai
sumur ini tembus ke Laut Selatan. Mitos lainnya kalau orang sanggup
melempar batu melewati sumur Jalatunda, maka akan terpenuhi harapannya.
Sayangnya, tidak tertarik saya menikmati mitos itu. Saya lebih senang
menghanyutkan diri mengamati hijaunya air sumur yang tenang dengan
beriramakan kicauan burung-burung di sekitarnya.
Destinasi
lainnya adalah menyusuri pematang ladang kentang milik penduduk. Ini
memang bukan tempat wisata. Namun, aktivitas ini sungguh menyenangkan.
Aktivitas ini membuat saya melebur ke dalam realitas asli masyarakat
Dieng. Berada di tengah-tengah lahan penghidupan. Berinteraksi dengan
petani. Saya ikut menyelami segala keluh kesah perjuangan petani kentang
Dieng sepanjang hidupnya.
Kali ini saya tidak
meninggalkan Dieng dengan tangan hampa. Saya pulang membawa buah tangan
khas Dieng. Carica Dieng dan Cabai Dieng. Carica adalah sebuah lagi
‘indigenousity’ dari Dieng. Di Indonesia, Carica hanya bisa ditemui di
Dieng. Buah ini harum, manis dan segar. Carica enak dirasakan terlebih
jika dinikmati sebagai manisan. Adapun Cabai Dieng cukup khas sebagai
oleh-oleh Dieng. Buah pedas mirip paprika ini tumbuh subur di Dieng.
Saya peroleh Cabai Dieng yang masih segar bugar. Langsung dipetik dari
ladangnya.
Dan,
perjalanan yang ketiga. Saya mantapkan jauh-jauh hari bermaksud
menyaksikan Ruwatan Anak Gimbal. Saya ingin melengkapi khasanah
perjalanan saya di Dieng dengan upacara budaya yang khas. Tak melulu
sekedar menikmati sajian alam dan artefak budayanya. Akhirnya, tujuan
saya tercapai. Saya berhasil merekam anak gimbal, prosesi ritual, mitos
gimbal, antusiasme masyarakat Dieng, dan perilaku ‘alien’ para turis.
Di
lokasi ritus, saya beruntung dapat menjalin kata dan rasa dengan
masyarakat setempat. Kami berbincang-bincang seperti sahabat dekat yang
telah lama akrab. Mereka sangat ramah dan suka bercerita. Hasilnya,
cerita anak gimbal saya dapatkan melimpah.
Saya
bertanya kepada seseorang, orang di sekitarnya ramai-ramai ikut
memperkaya cerita. Semua semangat menjelaskan ‘indigenousity’ Anak
Gimbal Dieng. Sepertinya semua warga Dieng menjadi duta wisata bagi
daerahnya. Dari hansip, pemuda sampai orang tua. Mereka benar-benar
nyata memiliki Dieng.
Bonus keberuntungan.
Keramahan Dieng tak cuma milik masyarakatnya. Aura keramahan Dieng juga
saya dapatkan ketika singgah di Gardu Pandang Tieng. Mentari pagi ikhlas
menyambut dengan sunrise yang meneguhkan jiwa. Sinarnya megah
membalut Gunung Sindoro – di hadapan saya – dengan warna kuning
keemasan. Sindoro gagah berkakikan hamparan ladang kentang beserta
pemukiman penduduk di lerengnya. Kabut menghiasi di setiap sudut lekukan
pinggangnya. Suasana ini mengantarkan saya serasa terbang tinggi di
Negeri di Atas Awan.
Kesunyian Pusar Vulkanik Jawa
Tetap
saja tiga kali berada di Dieng, saya belum bisa menjangkau semua
keanekaragamannya. Tetap saja rasanya masih mengapung di permukaan.
Meski sesekali mungkin menyelam dangkal.
Saya
perlu introspeksi. Mungkin saya salah memahami Dieng. Ternyata
eksistensi Dieng bukan sekedar terwujud karena pesona wisatanya.
Lebih
tepatnya Dieng adalah Dataran Tinggi Vulkanik di pusar Jawa Tengah yang
membentang luas. Dataran Tinggi Dieng dimiliki oleh Kabupaten Wonosobo,
Banjarnegara, Batang. Kendal, Temanggung dan Pekalongan. Hanya saja,
Wonosobo dan Banjarnegara yang lebih beruntung. Keduanya lah pemilik
titik-titik wisata Dieng yang telah terkenal selama ini.
Meski kagum dengan
pesona wisatanya, saya khawatir andaikala semua keindahan itu sirna
lantaran begitu rapuhnya Dieng. Saya teringat pada fitrahnya Dieng di
dunia ini. Dieng adalah nyanyian sunyi dari sepenggal cincin api
Nusantara di Tanah Jawa. Dibalik tirai keindahan alam dan budayanya,
tersimpan bencana vulkanik Dieng yang bisa datang sesuka hatinya.
Dieng
dulunya adalah sebuah gunung berapi yang sangat besar dan tinggi. Suatu
saat gunung tersebut meletus dahsyat. Melemparkan puncaknya ke daerah
sekelilingnya. Letusan ini membentuk bukit-bukit besar maupun kecil.
Melahirkan Gunung Perahu (2.565 m), Jurang Grawah (2.450 m), dan Gunung
Kendil (2.326 m). Serta, perbukitan lain diantaranya Gunung Pakuwojo,
Bismo Pangonan dan Sipendu berketinggian antara 2.245 m – 2.395 m.
Kini,
meski lampau sekali meletus dahsyat, api Gunung Dieng tidaklah padam.
Jejak-jejaknya masih bisa ditemui pada kawah-kawah aktif yang
menampakkan diri. Sebut saja, Candradimuka, Sibanteng, Siglagah,
Sikendang, Sikidang, Sileri, Sinila, dan Timbang. Kawah Sibanteng,
Sinila dan Timbang kerap meletus dan mengeluarkan gas beracun. Rekam
sejarah modern menyebutkan Kawah Sinila bersama Timbang pernah memakan
149 korban jiwa pada tahun 1979.
Juga,
jejaknya bisa disaksikan pada kawah-kawah yang telah mati. Kawah mati
ini kemudian terisi air, setia menampungnya. Alhasil, terciptalah
telaga-telaga dan sumur-sumur sebagai perhiasan tanah vulkanik. Telaga
Warna, Telaga Cebong, Telaga Merdada, Telaga Pengilon, Telaga Dringo,
Telaga Nila, dan Sumur Jalatunda adalah telaga-telaga yang menghiasi
lipatan-lipatan perbukitan Dieng. Sebagian telaga ini menjadi sumber air
penghidupan masyarakat Dieng.
Inilah
Dieng. Kawasan yang menjadi ensiklopedi pengetahuan lengkap tentang
aktivitas alam beserta manusia penghuninya. Menyediakan beragam
interaksi yang sarat dengan ‘indigenousity’. Tiap lembaran Dieng adalah
perpaduan penampang vulkanik alam dengan kehidupan manusia menaklukkan
alamnya. Intisarinya tersurat pada aktivitas vulkanik, pesona alam,
kekuatan manusia, keluhuran budaya beserta ladang penghidupannya.
Saya
kini palingkan muka ke segala penjuru arah Dieng. Tak ada jenuhnya.
Cakrawala saya terbentur dinding-dinding bukit Dieng yang menjulang
gagah. Namun, tiap kali menghadap ke dinding-dinding Dieng, saya
menangkap selalu ada romantika tentang kekuatan manusia. Ini tentang
masyarakat Dieng yang dengan upaya gigihnya memberdayakan tanah Dieng.
Menghidupkan Dieng. Mengubah Dieng menjadi Nirwana sesungguhnya untuk
kehidupannya. Sebagai tempat yang bisa menghidupi ribuan orang.
Suatu
perjuangan keras. Setiap lekuk perbukitan Dieng mereka jamah. Anugerah
kesuburan tanah Dieng berhasil dikonversikan setiap jengkalnya menjadi
lahan kentang, sayuran dan buah-buahan. Terciptalah ladang-ladang
penghidupan tempat mereka bersandar dan berjuang .
Bahkan,
itu tidak cukup. Masyarakat Dieng tak gentar menyandingkan
ladang-ladangnya dengan kawah-kawah Dieng. Saya menyaksikan
ladang-ladang mereka hanya sepelemparan batu dari kawah-kawah. Ini
seperti sebuah kontradiksi. Batas antara ladang kehidupan dengan kawah
kematian begitu dekat. Hampir tak teraba, tak berbau, tak terlihat.
Gambaran
itu adalah sebuah tanda. Tatkala ditarik menuju pembacaan wilayah
universal Dieng. Tanda yang menyiratkan masyarakat memandang Dieng tak
lagi menakutkan. Dan, sepertinya memang demikian sepanjang usia zaman.
Dieng selalu lebih baik dilihat dari sisi positif. Dieng lebih banyak
memberikan kebermanfaatan.
Saya
berprasangka mereka melihat kawasan bencana hanyalah sebuah ketakutan
berlebihan. Meski sadar bencana setiap saat bisa menerkam, masyarakat
tetap tinggal laksana tidak ada gejolak di dalam perut bumi Dieng.
Berpikirlah positif. Mereka adalah kaum yang percaya Tuhan, beragama
Islam. Semua sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebuah takdir mereka
berada. Hidup dan mati di tanah Dieng.
Lantas
saya teringat ‘kesaktian’ Kyai Kolodete. Barangkali inilah bukti
masyarakat Dieng benar-benar terwarisi kesaktian Kyai Kolodete,
leluhurnya. Kyai Kolodete dahulu dengan kesaktiannya berani membuka
tanah Dieng yang masih antah berantah. Kini masyarakat Dieng dengan
‘kesaktian jiwa raga’ teguh melanjutkan keberaniannya, memberdayakan
Tanah Dieng. Sebuah amanah yang kokoh melintasi zaman. Meski irama sunyi
bencana suatu saat nanti bisa nyaring bernyanyi. Iramanya bisa hadir
tak terduga menghapus semua keindahan.
Namun, semoga saja tidak. Semoga utopia.
***
Dalam
perjalanan pulang ke Jogja, hati terasa seperti ada yang mengganjal.
Ini bukan tentang kemolekan alam Dieng. Kalau ini pasti terngiang. Pasti
tak ada cukupnya mengeksplorasi alam dan budaya Dieng.
Ini
tentang penasaran saya pada Kyai Kolodete. Jika memang Kyai Kolodete
nyata pernah hidup dan meninggalkan jejak di Dieng, di manakah makam,
petilasan atau pekaringannya?
Saya
dapatkan info ada pekaringan Kyai Kolodete di puncak Gunung Kendil,
salah satu puncak kaldera Dieng. Suatu referensi menarik mengungkap
Dieng dari sisi lain. Inilah yang menggerakkan saya ingin kembali ke
Dieng untuk keempat kalinya.
Rasanya
saya perlu berziarah mengenang kehidupan Kyai Kolodete. Menemuinya.
Mengenang ‘kekuatan’ menitiskan rambut gimbalnya melintasi zaman.
Mengenang perjuangan dan keberanian merintis Negeri yang dikepung
potensi bencana tapi tak pernah surut menciptakan pesona luar biasa.
Dan,
terpenting mengenang Kyai Kolodete yang berhasil memulai yang tiada
duanya di dunia ini. Menginisiasi Dieng, sebuah nirwana penuh
‘indigenousity’ yang senyap penuh kerentanan bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar