Rabu, 30 Januari 2013

Dieng Nirwana

Dieng Plateau, Nirwana Sunyi Anak-anak Gimbal

1344239511607740803
Dieng Plateau, Negeri di atas Awan
Dieng adalah nirwana dunia di Tanah Jawa. Bumi vulkaniknya terukir beraneka ragam keindahan, kesuburan dan kekayaan alam yang luar biasa. Pesona budayanya terhampar berserakan mewarnai setiap sudut ruangnya. Namun itu tak cukup. Teristimewa ada manusia ‘indigenous’ yang unik sarat nuansa mistik. Anak Gimbal Dieng. Kehadirannya menjadi perhiasan yang mengagungkan Dieng, Negeri Para Dewa.
Intan, anak gimbal Dieng yang menjadi pusat perhatian Dieng Culture Festival 2012.. Dipanggul ayahnya menuju singgasana ruwatan..
Intan, anak gimbal yang menjadi bintang pada Dieng Culture Festival 2012. Pho: @iqbal_kautsar
Intan Rahmidiani (4) dipanggul ayahnya menuju ke beranda tangga Candi Puntadewa. Senyumnya sumringah menebarkan ceria. Lambaian tangannya memantik tepuk tangan meriah. Bocah gimbal hitam manis ini menjadi pusat pandangan puluhan ribu pasang mata di Kompleks Candi Arjuna. Giliran Intan menjalani prosesi sakral Ruwatan Anak Gimbal Dieng.
Tak sedikitpun ketegangan terpancar dari raut mukanya. Meskipun ia hendak dicukur habis rambut gimbalnya. Di muka Candi, Tokoh Adat Dieng Kulon, Mbah Naryono dan Kapolres Banjarnegara telah siap setia menantinya.
Sesampai di singgasana upacara, Intan duduk manis dipangku ayah tercintanya. Meski tahu akan dicukur oleh ‘Bos’ Polisi Banjarnegara, nyali Intan sama sekali tak ciut. Tampak ia telah siap seratus persen. Senantiasa tenang pembawaannya dengan senyum manisnya yang tak habisnya merekah.
Saya juga telah siap. Siap menyaksikan secara cermat Intan menjalani sakralitasnya.
Tadinya saya di belakang. Namun, spesial untuk Intan, saya merengsek ke depan. Saya harus berkompetisi dengan puluhan ribu saksi mata lainnya. Ruwatan Anak Gimbal kali ini memang terkesan meriah karena dikemas dalam acara Dieng Culture Festival 2012.
Seperti biasa, di barisan terdepan adalah fotografer profesional atau sok profesional dengan piranti fotografinya yang kadang tampak berlebihan: kamera canggih dengan lensa telenya. Beberapa di antaranya adalah serdadu-serdadu media.
Di belakangnya, para maniak-maniak acara dari luar daerah berdiri mengamati. Entah mereka memaknai atau sekedar ingin eksistensi. Sesekali mereka narsis berfoto dengan background prosesi. Lengkap berbumbu senyum artifisialnya.
Dan, lebih belakangnya lagi sampai terbelakang. Berdiri masyarakat setempat yang sejatinya lebih berkepentingan dan tahu makna ritual. Mereka tampaknya harus mengalah. Atau, memang mereka telah berupaya tapi kalah. Kadang inilah yang kurang saya sukai. Setiap acara yang sarat makna seperti ini, hanya menjadi ajang untuk mengabadikan eksistensi, alih-alih membumikan esensi. Masyarakat setempat terpinggirkan.
Penonton Ruwatan Anak Gimbal. Masyarakat termarjinalkan. Photo: @iqbal_kautsar
Penonton Ruwatan Anak Gimbal. Masyarakat termarjinalkan. Photo: @iqbal_kautsar
Dengan perlahan tapi pasti, akhirnya saya menemukan titik muka. Meski tidak mendapat ‘front row’, cukup puas saya berada di barisan nomor dua. Kini, saya cukup leluasa menikmati prosesi Ruwatan Rambut Gimbal Intan. Paling berharga saya tidak terlambat dan terhambat. Menyaksikan sakralitas Intan tanpa hambatan kepala-kepala manusia.
Prosesi dimulai. Ikat putih kepalanya dibuka. Rambut gimbalnya terurai menjulur-julur keluar. Kapolres mulai memangkas mahkota rambut Intan. Satu gimbal berhasil dipotong. Berikutnya, gimbal di sebelahnya. Seterusnya ke gimbal lainnya sampai habis. Mbah Naryono, di sampingnya, cermat memandu dan mengawasi prosesi. Setelah habis, potongan rambut gimbal itu dipamerkan tinggi-tinggi Kapolres kepada pengunjung. Bukti prosesi telah sukses mencukur rambut gimbal Intan.
Kini Intan telah berubah. Rambut gimbalnya tak ada lagi. Mahkotanya sama lagi seperti anak normal lainnya. Lurus, tanpa ada gimbal yang menghiasi kepalanya lagi. Hanya rambutnya semakin pendek. Cepak. Kali ini, ia lebih mirip seorang bocah laki-laki yang manis.
Intan kembali dipanggul oleh ayahnya. Seperti saat menuju prosesi, Intan juga melambaikan tangannya kepada pengunjung. Dia tampak sangat bergembira. Senyum tawanya merekah lebar. Sebuah senyum kemenangan.
Dan, suasana kali ini lebih meriah. Setiap lambaian tangannya, para pengunjung langsung bertepuk tangan gegap gempita. Seakan baru saja negeri Dieng bak menahbiskan Intan menjadi ratu barunya.
Meski begitu, Intan tak sendirian menjadi ‘Ratu Dieng’ saat itu. Ia berbagi tahta dengan lima anak gimbal lainnya mengikuti prosesi Ruwatan Anak Gimbal. Mereka adalah Baqiyatus Izah, Nur Hikmah, Muhammad Farkhan Askataslini, Nadia Retnowati, Indischa Azzahra Pradestaraya. Kesemuannya adalah putri-putri Dataran Tinggi Dieng. Mereka semua dinobatkan menjadi ratu-ratu di Negeri Para Dewa pada Ruwatan kali ini.
1344185994826764458
Para Ratu Gimbal Dieng beserta uborampe Ruwatan. @iqbal_kautsar
Hanya saja, Intan tetap yang paling istimewa. Setidaknya demikian penilaian saya dan ribuan penonton lainnya. Buktinya, dibanding anak gimbal lain, dialah yang paling mengundang tawa dan tepuk tangan gempita. Lainnya, hanya berekspresi biasa dan datar. Itu pun setengah malu-malu. Malah, ada satu bocah gimbal yang menangis keras setelah selesai diruwat.
Kepada Intan, saya tidak bisa untuk tidak ikut mengapresiasinya. Berkali-kali saya larut spontan bertepuk tangan setiap kali ia tersenyum dan melambaikan tangan.
Anak Gimbal dan Kontrarasionalitas
Mengusik rasionalitas. Begitulah bagi saya saat mencerna fenomena Anak Gimbal Dieng. Meski sebenarnya saya paham rasionalitas memiliki keterbatasan, tetapi di Dieng keterbatasan itu menemukan buktinya secara telanjang.
Menyedihkan bagi segala rasionalitas saya.
Binatang buas rasionalitas saya tak cukup kuasa menerkam ritus-ritus tradisional leluhur Dieng. Ia harus tunduk dan turut pada realitas kontrarasionalitas yang penuh mistika. Maka, saya harus mengkandangkan binatang rasionalitas dalam jeruji kerangkeng besi. Menguncinya erat-erat. Mungkin dalam hal ini, demikian adalah pilihan yang lebih baik.
Dengan begitu, realitas anak gimbal dengan rambut gimbalnya akan berhasil saya nikmati secara lezat. Barangkali andaikan saya memaksa mengandalkan rasionalitas, mungkin saya masih bisa melihatnya. Tapi, bersiaplah saya hanya bertemu dengan ruang hampa tanpa makna. Hanya sekedar fenomena.
Lantaran awam, saya mencerna rambut gimbal mulai dari wujudnya. Dari yang paling bisa dikenali indera. Sepintas, rambut gimbal mirip dengan rambut bergaya Reggae bercita rasa rasta. Saya membandingkannya dengan Bob Marley, dedengkot reggae. Bagi pemiliknya, rambut ala reggae adalah ungkapan seni dirinya. Boleh dikatakan rambut menggimbal ala reggae adalah simbol dari sebuah identitas.
Namun, bagi anak gimbal Dieng, memiliki rambut gimbal bukanlah kehendak mereka. Bukan dibuat dengan pergi ke salon. Rambut gimbal mereka terbentuk alami. Tumbuh dengan sendirinya tanpa ada rekayasa. Konon, rambut gimbal adalah sebuah anugerah leluhur Dieng.
Rambut gimbal Intan. Photo: @iqbal_kautsar
Rambut gimbal Intan. Photo: @iqbal_kautsar
Dari wujudnya, antara helaian-helaian rambut gimbal saling merekat dan mengikat. Sampai-sampai tidak bisa disisir. Rambut gimbal bisa tumbuh hanya satu ikat. Atau bisa tumbuh paling sempurna, yakni banyak ikat yang disebut rambut gimbal jenis “pari” atau padi. Sedikit anak yang bisa tumbuh sampai gimbal jenis pari ini.
Tadinya saya menganggap bahwa rambut gimbal adalah persoalan genetik yang bisa diwariskan turun temurun. Tapi, ternyata bukan. Kemunculannya acak. Tidak bisa diprediksikan. Kalau dalam istilahnya Nassim Nicholas Taleeb – pakar probabilitas, kemunculan rambut gimbal bisa dianggap sebagai Black Swan.
Tidak seperti angsa berwarna putih. Angsa berwarna hitam adalah hal yang langka, acak dan tidak terprediksikan. Rambut gimbal tumbuh pada anak-anak Dieng secara acak, tidak berpola tertentu. Dengan kata lain, tidak ada seorangpun yang tahu kapan dan siapa anak yang akan menerima anugerah ini. Ia adalah Black Swan.
Ini jelas menggelitik. Sampai-sampai, binatang rasionalitas yang sudah saya kandangkan dalam jeruji-jeruji besi berusaha memberontak. Berusaha mencari pembuktian di ranah ilmiah. Sayangnya, itu percuma. Buang-buang tenaga saja. Saya tak menemukan (atau memang belum menemukan) justifikasi ilmiah untuk rambut Gimbal. Berbagai penelitian untuk menyingkap sebab ilmiah fenomena rambut gimbal belum membuahkan hasil.
Rambut gimbal jenis pari. doc: mediaindonesia.com
Rambut gimbal jenis pari. doc: mediaindonesia.com
Munculnya rambut gimbal membuat saya penasaran muasalnya. Saya mengulik informasi dari seorang Pak Hansip yang menjaga prosesi. Meski cukup sibuk, ia tetap ramah dan sumringah ditanyai orang luar daerah seperti saya. Ia layak dinobatkan Duta Wisata Dieng. Sayangnya, saya lupa namanya. Inilah buruknya saya, seringkali lupa dengan nama seseorang yang pertama kali saya jumpai.
Pada mulanya rambut anak-anak Dieng tumbuh normal. Pada fase tertentu, sekitar usia dua tahunan, si anak akan terserang sakit panas tinggi selama beberapa hari. Anehnya, itu tak bisa sembuh dengan obat. Sakit panas itu hanya akan sembuh dengan sendirinya. Sakit panas yang sangat tinggi ini adalah awal mula tumbuhnya rambut gimbal. Setiap kali rambut gimbal kembali tumbuh, sakit panas itu kembali berulang. Makanya, anak gimbal akan sering sakit-sakitan.
Dalam kesehariannya, anak-anak gimbal tidak berbeda dibandingkan teman-temannya. Perlakuan orang-orang kepadanya juga biasa saja, tidak spesial. Hanya saja mereka cenderung lebih aktif, kuat, suka rewel dan agak nakal. Menariknya, apabila bermain dengan sesama anak gimbal, pertengkaran cenderung sering terjadi antara mereka.
Hingga suatu waktu, si anak gimbal akan meminta untuk dicukur rambut gimbalnya. Saya bertanya dalam hati: dicukur tinggal dicukur. Pergi ke tukang cukur sudah beres. “Gitu aja kok repot?” dalam hati saya berparsimoni.
Ternyata tidak segampang itu. “Pencukuran rambut gimbal harus melalui suatu Ruwatan.” ungkap Pak Hansip. Tidak boleh sembarangan dicukur. Kalau sembarangan, rambut gimbal itu tumbuh kembali. Bahkan akan semakin menggimbal.
Anehnya lagi, si anak gimbal ketika diruwat tak cukup minta dicukur saja. Ia akan menyertainya dengan suatu permintaan. Ia memiliki keinginan yang harus dipenuhi orang tuanya sebelum dilaksanakan Ruwatan. Apapun itu keinginannya harus dituruti! Kalau pencukuran dipaksa tidak disertai pemenuhan keinginan terlebih dulu, anak gimbal itu bisa jadi linglung bahkan gila.
Wah, kemudian rasionalitas saya ingin menjadi oportunis. Andaikan menjadi anak gimbal, saya ingin pesawat terbang, mobil atau motor yang mahal. Namun, sayangnya saya bukan anak gimbal. Dan, untungnya keinginan anak gimbal itu tidaklah seoportunis saya.
Intan meminta lima mangkuk bakso dan seekor ayam jago. Baqiyatus meminta sebuah sepeda dan 10 butir telur ayam. Nur meminta anting-anting. Askataslini meminta seekor kambing. Nadia meminta uang jajan Rp100 dan Rp1.000, serta Indischa meminta dua permen Milkita dan dua dus minuman Milkuat. Bagi kita yang mendengarnya, permintaan mereka terkesan unik dan lucu. Namun, mau bagaimana lagi. Seperti begitulah yang diminta oleh anak-anak gimbal.
Demikian saat ruwatan sekarang. Relatif sederhana dan mudah dipenuhi. Sebelumnya, menurut Pak Hansip, pernah ada yang meminta ular yang besarnya satu pohon besar. Permintaan ini jelas sangat susah. Sampai sekarang, permintaan itu tidak terpenuhi orang tuanya. Kini anak gimbal itu telah dewasa. Dan sedihnya, ia menjadi sakit gila karena tidak berhasil diruwat. Jujur, dalam hati saya merasa ngeri andaikan keinginan anak gimbal tidak terpenuhi.
Saya lantas berpikir, apakah tidak sebaiknya orang tuanya ‘merekayasa’ permintaan anak gimbal dengan sesuatu yang lebih terjangkau. Misal: bakso, mainan tradisional atau ayam jago. Sayangnya, pemikiran rasionalitas itu termentahkan jauh-jauh.
Orang tuanya tak bisa memengaruhi keinginan anak gimbal. Keinginan anak gimbal harus muncul dari dirinya sendiri. Namun begitu, konon keinginan mereka sebenarnya berasal dari makhluk gaib yang ‘mendampingi’ mereka, ‘mendiami’ rambut gimbalnya. Maka, kelihatannya seolah-olah yang menyebutkan adalah dari mereka sendiri, si Anak Gimbal.
Menjalani Prosesi
Bagaimana melakukan Ruwatan Anak Gimbal? Masyarakat Dieng memiliki dua pilihan menu. Bisa memilih secara mandiri atau massal. Pertimbangannya menyesuaikan kemampuan keluarga yang meruwat anak gimbalnya.
Jika keluarganya sendiri bisa memenuhi permintaan dan memiliki biaya menyelenggarakan, ruwatan secara mandiri bisa dilaksanakan. Namun, jelas ruwatan secara mandiri membutuhkan biaya besar. Harus menanggung segala biaya seremoni ruwatan. Saya bisa bayangkan pasti hanya keluarga ‘borjuis’ Dieng yang bisa melakukan ruwatan Anak Gimbal secara mandiri.
Maka, masyarakat Dieng lebih banyak memilih meruwat anak gimbalnya secara massal. Masyarakat ‘urunan’ gotong royong melakukan ruwatan. Biaya dan tenaga ruwatan ditanggung bersama. Tentunya, ruwatan secara massal ini juga akan lebih meriah. Ribuan masyarakat Dieng berbondong-bondong datang memenuhi lokasi. Bisa dikatakan, ruwatan massal sekaligus menjadi pesta rakyat Dataran Tinggi Dieng.
Lazimnya, setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa atau bulan Agustus adalah saat pelaksanaan Ruwatan. Namun, ruwatan tetap bisa dilaksanakan di luar waktu lazimnya. Tak jadi masalah kapanpun ruwatan dilakukan. Seperti kali ini, ruwatan massal dikemas bebarengan dengan Dieng Culture Festival (DCF), 30 Juni – 1 Juli 2012.
Dengan dibarengkan DCF 2012, saya mengamati hajatan Ruwat Anak Gimbal sukses menjadi komoditas wisata bagi masyarakat dan pemerintah. Nyatanya ribuan turis dari penjuru negeri mengunjungi Dieng saat DCF. Datangnya turis-turis mendongkrak pendapatan bagi masyarakat dan pemerintah. Ruwatan Anak Gimbal Dieng adalah berkah ekonomi bagi Dieng.
13441816871345757867
Layaknya artis. Sesi pemotretan sebelum kirab. @iqbal_kautsar
Dalam pelaksanaannya, prosesi ruwatan ditandai dengan pembacaan doa di rumah Pemuka Adat Dieng terlebih dulu. Kemudian dilanjutkan dengan kirab arak-arakan Anak Gimbal yang diruwat menuju Kompleks Candi Arjuna. Halaman rumah Pemuka Adat menjadi tempat pemberangkatan Kirab. Kirab ini menyertakan barang-barang permintaan Anak Gimbal dan ‘uborampe’ sesaji berupa nasi tumpeng, ayam panggang, dan jajanan pasar. Kirab juga dimeriahkan dengan beragam pentas seni dari penduduk sekitar.
Kirab berjalan dengan mengelilingi kawasan Dieng sebagai upaya napak tilas. Napak tilas ini menuju beberapa tempat, yaitu candi Dwarawati, komplek candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Bima, sendang Maerokotjo, telaga Balekambang, kawah Sikidang, komplek pertapaan Mandalasari, kali Kepek dan komplek pemakaman Dieng. Pada saat kirab berjalan, para anak gimbal akan dilempari beras kuning dan uang koin.
Kirab lalu singgah ke Dharmasala untuk dilakukan jamasan Anak Gimbal di Sendang Sedayu. Tatkala memasuki sendang Sedayu, anak-anak gimbal berjalan dinaungi oleh Payung Robyong di bawah kain kafan panjang di sekitar sendang sambil diiringi musik Gongso. Air untuk jamasan tersebut ditambah kembang tujuh rupa (sapta warna) dan air dari Tuk Bimalukar, Tuk Sendang Buana (Kali Bana), Tuk Kencen, Tuk Goa Sumur, Kali Pepek dan Tuk Sibido (Tuk Pitu).
Setelah penjamasan selesai, anak-anak rambut gimbal dikawal menuju tempat pencukuran, yakni di kompleks Candi Arjuna. Prosesi pencukuran rambut gimbal merupakan puncak prosesi Ruwatan Anak Gimbal.
Pencukuran
Pencukuran Rambut Gimbal. @iqbal_kautsar
Prosesi Ruwatan pencukuran Rambut Gimbal dipimpin langsung Pemuka Adat Dieng. Namun begitu, orang yang mencukur tidak harus Pemuka Adat Dieng. Orang-orang yang ditunjuk adat, misal Bupati dan Pejabat Pemerintah dapat menjadi pencukur rambut Anak Gimbal. Pencukuran dilakukan di halaman Candi Puntadewa, Kompleks Candi Arjuna. Setelah rambut gimbal selesai dicukur, potongan rambut itu diletakkan pada cawan berisi air dari Bima Lukar dan bunga setaman.
Setelah pencukuran, acara dilanjutkan dengan doa dan tasyakuran. Lalu, semua ‘uborampe’ prosesi dibagikan kepada para pengunjung. Konon ceritanya itu dapat membawa berkah pada yang membawanya.
Ritual terakhir dalam ruwatan anak gimbal adalah melarung potongan rambut. Larung dilakukan di tempat yang terdapat air yang mengalir ke pantai selatan Jawa. Lokasi larung rambut gimbal ini dilakukan di Sendang Sukorini, Kali Tulis. Biasanya juga dilakukan di Telaga Warna. Tempat-tempat itu memiliki hubungan dengan Samudera Hindia.
1344189059773539711
Kesenian masyarakat Dieng memeriahkan jalannya Kirab. @iqbal_kautsar
Titisan Leluhur Dieng
Demikianlah yang telihat di permukaan. Masih bongkahan kokoh puncak-puncak gunung Gimbal Dieng dan Ruwatannya. Sekarang, saya ingin berpetualang lebih jauh menyusuri lembah sejarah leluhur Dieng yang ‘dingin’. Sedingin Dieng saat saya datang. Suhu udara Dieng saat itu mendekati nol derajat di pagi hari. Siangnya, meski cerah bermentari, tetap saja Surya tak mampu menyapu dinginnya Dieng. Begitulah kondisi Dieng tatkala memasuki bulan-bulan kemarau.
Untuk menghangatkan badan, saya menyibukkan diri mencari tahu apa di balik semua kontrarasionalitas Anak Gimbal Dieng. Pilihan yang tepat adalah menguliknya berdasar cerita rakyat Dataran Tinggi Dieng. Saya percaya kadangkala cerita rakyat bisa mengkaribkan rasionalitas dengan kontrarasionalitas. Ia biasanya lezat dibungkus dalam balutan selimut sejarah.
Konon kabarnya, Anak Gimbal Dieng adalah titisan dari Kyai Kolodete. Kyai Kolodete dianggap sebagai luluhur pendiri Dieng. Leluhur ini bukan sesosok gaib, melainkan sesosok manusia yang pertama kali membuka tanah Dieng. Ia hidup pada masa kejayaan Mataram. Kyai Kolodete ini memiliki rambut gimbal.
Syahdan, Kyai Kolodete dikenal sebagai seorang pemimpin, seorang penasihat dan seorang yang sangat berpengaruh dalam masyarakat di daerah Kawedanan Kertek dan sekitarnya. Jabatan formalnya adalah sebagai kebayan desa Tegalsari, Kertek, Wonosobo.
Kyai Kolodete berkeinginan bisa memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dan masyarakatnya. Maka, agar keinginannya lebih bisa direalisasikan, beliau bermaksud menjadi Lurah. Maksud ini mendapat dukungan kuat dari masyarakatnya. Masyarakat sudah menganggap bahwa dari sifatnya dan sikapnya, Kyai Kolidete dipandang telah memenuhi syarat sebagai Lurah.
Pada suatu hari, Kyai Kolodete mencalonkan diri untuk menjabat sebagai sebagai Lurah. Permohonan ini diajukan ke pemerintah pusat, yaitu Mataram. Namun, tanpa diketahui alasannya, permintaan itu ditolak. Ditolaknya permintaan itu membuat hati masyarakat menjadi kecewa.
Demikian juga dengan Kyai Kolodete. Beliau merasa malu terhadap rakyatnya. Sebagai pertanggungan jawab atas ditolaknya permohonan tersebut, beliau ingin mengasingkan diri dari keramaian dan ingin bertapa di Dataran Tinggi Dieng. Sebelum bertapa, beliau berpesan kepada rakyatnya:
“Mung semene wae anggonku njuwita Pamarintah, aku arep menjang Dieng“ (Hanya sampai sekian aku mengabdi kepada Pemerintah, aku akan ke Dieng)
Dalam setiap doanya, beliau memohon kepada sang Khaliq supaya cita-citanya dahulu, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan masyarakat, bisa terkabul. Meski ia jauh menyepi tetapi ia tetap begitu mencintai rakyatnya. Tanda bukti kecintaan Kyai Kolodete kepada masyarakatnya berharap bisa direstui sang Khaliq. Tanda bukti itu ialah supaya anak cucunya nanti di kemudian hari akan berambut gembel seperti halnya rambut Kyai Kolodete. Dan, permohonan itu benar-benar dikabulkan sang Khaliq.
Sampai sekarang di Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya banyak terdapat anak berambut gimbal. Oleh masyarakat, anak berambut gimbal ini disebut Anak Gembel dan dianggap titisan Kyai Kolodete yang berkekuatan gaib itu.
Saya dapatkan cerita tersebut dari referensi ilmiah yakni, skripsi S1 Antropologi Yudi Febrianda tentang “Mitos Anak Gembel di Dataran Tinggi Dieng”, 2003, yang diupload di catatansikudaliar.blogspot.com. Penelitiannya ini dilakukan di Desa Dieng Wetan, Kec. Kejajar, Kabupaten Wonosobo berdasarkan cerita masyarakat yang berkembang di sana. Namun, cerita itu bukan versi satu-satunya tentang Kyai Kolodete dan Anak Gimbalnya.
1344186706917301563
Senyum narsis Bocah Gimbal. Dianggap titisan Leluhur Dieng, Kyai Kolodete. @iqbal_kautsar
Ada versi cerita lain tentang Kyai Kolodete dan rambut gimbal yang berkaitan dengan mitos Nyi Roro Kidul, penguasa Ratu Selatan Jawa. Cerita ini disadur dari penuturan Mbah Naryono, pemangku adat Dieng Kulon, Kec. Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Syahdan, datangnya rambut gimbal sebenarnya berasal dari Ratu Laut Kidul. Ratu Laut Kidul menitipkan rambut gimbal kepada Tumenggung Kolodete. Tumenggung Kolodete adalah seorang panglima dari Keraton Yogyakarta yang sedang mengasingkan diri di kawasan Dieng.
Singkatnya, keturunan gaib dari Tumenggung Kolodete akan mempunyai rambut gimbal. Keturunan gaib ini adalah anak bajang titipan Nyi Roro Kidul. Suatu saat rambut gimbal anak bajang akan diminta kembali oleh Ratu Laut Kidul. Pengembalian rambut gimbal dilakukan melalui ruwatan dimana rambut gimbal yang diruwat dilarung ke saluran air yang mengalir ke Laut Selatan Jawa.
Satu lagi versi cerita tentang Kyai Kolodete. Kali ini saya peroleh berhubungan dengan sejarah Wonosobo. Konon ceritanya bahwa Kyai Kolodete merupakan satu dari tiga tokoh yang mendirikan Kota Wonosobo, yakni bersama dengan Kyai Walik dan Kyai Karim.
Kyai Walik merancang tata kota Wonosobo. Kyai Karim menjadi peletak dasar-dasar pemerintahan di Wonosobo.Dan, Kyai Kolodete pergi ke Wonosobo bagian utara di kawasan Dieng membuat perkampungan. Ketiga tokoh itu menjalin kerjasama yang erat, saling mendukung dan melengkapi demi memajukan perkampungan Wonosobo.
Kyai Kolodete bersama keluarga dan pengikutnya membabat alas Dieng yang masih perawan. Tujuannya adalah untuk dijadikan perkampungan penduduk, lahan pertanian, dan ladang sebagai sumber penghidupan. Kyai Kolodete kemudian diyakini menjadi ‘merkayangan’ atau penguasa Dieng.
Kyai Kolodete ini memiliki rambut gimbal semenjak kecil. Menurut mitosnya, lantaran rambut gimbalnya begitu mengganggu, sebelum meninggal Kyai Kolodete berpesan agar anak cucunya membantu dalam menghadapi gangguan rambut itu. Maka, diwariskanlah rambut gimbalnya pada anak-anak Dataran Tinggi Dieng hingga sampai sekarang.
Ada benang merah yang bisa menghubungkan versi-versi cerita leluhur Dieng dan muasal Rambut Gimbal. Semua sama-sama membicarakan Kyai Kolodete. Semua sepakat bahwa Kyai Kolodete adalah leluhur Dieng yang ‘menitiskan’ rambut Gimbal kepada bocah-bocah Dieng.
Sekarang masalahnya adalah pada saya. Banyaknya versi tentang Kyai Kolodete membuat saya memiliki pilihan versi mana yang lebih realistis. Mana yang lebih bisa diterima rasio. Saya bernafsu ingin memutuskan manakah versi pilihan saya.
Namun saya hentikan. Saya anggap biarkan semua cerita itu bebas memasuki kamar-kamar otak saya. Biarlah diterima semuanya. Apa adanya. Saya pikir, masing-masing memiliki sisi yang mendekati rasionalitas. Meskipun demikian adalah sisi yang terdekat dari yang terjauh. Pada setiap versi Kyai Kolodete, tetap saja kontrarasionalitas lebih menghegemoni – dalam bahasanya Gramsci.
Bagi saya yang awam, lebih baik berdamai dengan realitas. Lebih baik memposisikan Kyai Kolodete sebagai sesosok legenda hidup Dieng. Everlasting Dieng Forever. Saya melihat keberadaannya hidup pada artefak titisannya: anak-anak berambut gimbal. Dengan begitu, sosoknya akan lebih bisa terlihat nyata di hadapan mata. Kyai Kolodete relevan dengan realitas kekinian.
13441877491388788929
Keceriaan Intan, si bocah gimbal, saat kirab ruwatan. @iqbal_kautsar
Dan, seperti itulah ketika saya melihat sosok Intan Rahmidiani. Ia ceria dan pemberani. Bisa jadi sifat Intan ini adalah secuil gambaran sifat Kyai Kolodete. Memandangi Intan berarti menghadirkan Kyai Kolodete. Meskipun saya akui pasti, sekedar menyederhanakan.
Saya mencoba menghangatkan masa depan. Sebuah harapan. Barangkali disitulah harapan terakhir untuk rasionalitas saya. Saya mengharapkan ‘kehebatan’ Kyai Kolodete yang legendaris mampu menembus dimensi waktu. Jikalau dulu Kyai Kolodete telah memberikan manfaat untuk masyarakat Dieng, semoga Intan dan anak gimbal lainya juga bermanfaat bagi kesejahteraan Dieng suatu saat nanti.
Tak sekedar dititiskan gimbalnya, tetapi dititiskan pula kontribusinya untuk Dieng. Anak Gimbal menjadi harapan penggerak Dieng. Menjadi lokomotif kemajuan.

Menyempurnakan Pesona Nirwana
Anak Gimbal adalah fenomena langka. Wujud rambut gimbal yang unik dengan muasalnya yang mistik. Dikombinasikan ritus ruwatan yang sarat simbolik. Dalam pandangan saya, demikian adalah sebuah ‘indigenousity’. Anak gimbal hanya bisa ditemui di Dataran Tinggi Dieng.
Imajinasi saya lantas terbang tinggi. Bisa jadi ‘indigenousity’ anak Gimbal melegitimasi muasal kata Dieng yang berbau perdewaan. Dieng berasal dari gabungan dua kata Bahasa Kawi. “Di” yang berarti “tempat” atau “gunung” dan “Hyang” yang bermakna “Dewa”. Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. Dieng adalah Negeri Para Dewa. Kehadiran Anak Gimbal adalah demi mengistimewakan Dieng, Negeri Para Dewa.
Kini saya lebih realistis. Mendekati Dieng sebagai sepotong daerah di muka Bumi. Tetap saja Dieng pantas disebut ‘Negeri para Dewa’. Dari pesona alam dan budayanya, Dieng teristimewa layak sebagai ‘nirwana Dewa’ di dunia. Dieng menawarkan setiap sudutnya terukir lekuk keindahan, kekayaan alam serta kesuburan tanah luar biasa. Begitu pula budayanya. Dieng adalah tempat tersebarnya artefak kuno berabad-abad silam. Dan, ‘Indigenousity’Anak Gimbal Dieng hadir menyempurnakan keistimewaan ‘nirwana’ Dieng.
1344193132777870167
Prosesi pencukuran Ruwat Anak Gimbal di beranda Candi Puntadewa. @iqbal_kautsar
Kehadiran saya menyaksikan Ruwatan Anak Gimbal adalah kali ketiga saya mengunjungi Dieng. Bukan hal yang membosankan meski saya tiga kali telah menginjakkan kaki di Dieng. Kawasan dataran tinggi yang berketinggian lebih dari 2000 m ini menyediakan begitu banyak kenikmatan berpetualang.
Kedatangan pertama ke Dieng adalah sebuah perkenalan. Saya anggap perkenalan lantaran menemui tempat-tempat yang telah terkenal di permukaan. Ya, mirip dengan destinasi yang ditawarkan agen wisata. Hanya saja, saya tidak hadir ditemani agen wisata. Melainkan bersama kawan-kawan seperjuangan dalam ekspedisi Valentine “Community Lampah-lampah Rajelas” tahun 2009.
1344195224662059035
Golden Sunrise di Sikunir. Salah satu yang terbaik di Indonesia. Photo: @jauharii
Waktu itu saya berhasil menyapa terbitnya matahari pagi di Gunung Sikunir (2.263 m). Dari sana petualangan saya bermula di Dieng. Sikunir adalah salah satu dari tempat terbaik menikmati sunrise di Indonesia. Makanya, bisa hadir di sana adalah sebuah keberuntungan dan perjuangan. Sunrise Sikunir adalah kombinasi cuaca cerah dengan upaya tak kenal menyerah mendaki setapak menuju puncak.
Matahari telah meninggi. Saya turun membasuh muka di Telaga Cebong. Telaga ini setia berada di samping Desa Sembungan. Menghidupi desa tertinggi di Pulau Jawa. Airnya bersih mengantarkan saya pada pagi hari yang luar biasa di Dieng.
Berikutnya, Dieng Plateau Theater. Hanya saja saya belum beruntung. Masih terlalu pagi. Teater yang menyediakan tontonan kebencanagunungapian Dieng saat itu belum buka. Candi Bima menjadi destinasi selanjutnya. Menyelami satu artefak peninggalan Hindu Kuno di abad 7 silam. Kekhasan Candi Bima ada pada bentuknya yang mirip dengan Candi-Candi di India.
Kemudian, saya mengejar kijang di Kawah Sikidang. Tapi, jangan tertipu! Tak ada Kijang di sana. Kawah Sikidang dikenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Dari karakter inilah nama Sikidang berasal akibat penduduk setempat melihatnya berpindah-pindah seperti kijang.
Candi Gatotkaca menjadi persinggahan saya selanjutnya. Sekedar sejenak berhenti menemuinya yang berada tepat di tepi jalan. Candi Hindu ini berbentuk bujur sangkar dengan satu pintu di sisi sebelah barat. Sedangkan pada ketiga sisi dinding yang lain terdapat relung berhias kala-makara.
1344196616622646179
Candi Gatotkaca. Sepenggal artefak Hindu di Dieng. @iqbal_kautsar
Di seberangnya berdiri Museum Kaliasa Dieng. Berisikan artefak dan cerita tentang geologi, flora fauna, kehidupan sehari -hari, dan kesenian daerah Dataran Tinggi Dieng. Saya cukup terpaku memandangnya dari Candi Gatotkaca. Museum Kaliasa sepertinya baru saja mulai menyongsong hari.
Petualangan dilanjutkan menyusuri Dieng ke arah Barat. Cukup berharga untuk bisa menyaksikan instalasi-instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang mencengkeram bukit-bukit Dieng. Instalasi-instalasi ini menyedot energi panas bumi yang begitu kaya terkandung di Bumi Dieng.
Perjalanan saya kemudian menuju Telaga Merdada. Sebuah telaga yang sepi dan tenang dengan hiasan dinding perkebunan kentang. Telaga ini terluas di Dataran Tinggi Dieng. Telaga Merdada cocok untuk menenangkan diri sambil memegang alat pancing mencoba peruntungan mengail ikan.
Kompleks Candi Arjuna adalah titik saya beristirahat pada siang itu yang terik. Kompleks Candi Arjuna terdiri dari candi Arjuna, candi Semar, candi Srikandi, candi Puntadéwa dan candi Sembadra. Candi-candi ini seakan mengembalikan saya ke suasana abad 7-8 lampau. Seperti dulu dimaksudkan sebagai tempat pertapaan, saya pun ‘bertapa’ mengistirahatkan diri. Sayangnya, semilir angin sejuk dari puncak-puncak Dieng, membuat saya tertidur di rerumputan yang mengelilingi candi-candi.
Mendung mulai menggumpal di langit kayangan Dieng. Saya bergegas menuju Telaga Warna. Konon saat sang surya kuat bersinar, Telaga Warna bisa menampakkan khasanah warna merah, hijau, biru, putih, dan lembayung. Sayangnya, kala itu mendung. Saya hanya bisa melihat warna hijau yang dibalut dengan warna putih. Di tepi telaga Warna, saya mengunjungi Goa Semar, Goa Jaran, Goa Sumur yang sejuk dipayungi hutan rimbun.
1344197177575455557
Telaga Warna yang memesona. Photo: @jauharii
1344198584978187183
Menapaki tebing bukit Telaga Warna. Pengorbanan menuju sebuah keindahan. @jauharii
Namun, pengalaman terbaik di Telaga Warna adalah saat saya bersama kawan-kawan menuju puncak bukit di tepian Telaga Warna. Menduga jalannya setapak, tapi kami harus merayap. Kami menembus hutan dengan kemiringan lereng 75 derajat. Dan, hasilnya luar biasa. Kami melihat Telaga Warna bergandengan tangan dengan Telaga Pengilon di sebelahnya. Telaga Warna tampak hijau akibat belerangnya. Telaga pengilon tetap bening tidak terkontaminasi. Padahal hanya dibatasi rawa kecil berhiaskan rerumputan. Masing-masing menjaga ‘idealismenya’.
Perjalanan perkenalan diakhiri dengan mencicipi kentang goreng di tempat parkir Telaga Warna. Sangat renyah. Renyah di sini bukan karena penggorengannya – api tak mencapai titik didih 100 derajat Celcius di Dieng. Melainkan karena kentangnya masih segar, langsung diambil dari ladang yang melimpah ruah. Dataran Tinggi Dieng adalah salah satu penghasil kentang terbesar di Indonesia.
13442004591657795239
Telaga Warna dan Telaga Pengilon bergandengan tapi tetap menjaga idealismenya. @jauharii
Setahun berikutnya, saya datang ke Dieng untuk kedua kalinya pada Mei 2010. Kali ini sebagai agen wisata sukarela untuk teman saya. Petualangan kedua adalah tentang Napak Tilas Petualangan Pertama. Destinasi yang dituju merupakan cetakan ulang petualangan pertama.
Namun, tetap saja saya menyisipkan beberapa tempat tujuan lain. Kesempatan pribadi memperkaya referensi tentang Dieng.
Sumur Jalatunda adalah salah satunya. Sumur Jalatunda ibarat lubang raksasa di Dieng yang dipenuhi mitos. Konon, masyarakat setempat memercayai sumur ini tembus ke Laut Selatan. Mitos lainnya kalau orang sanggup melempar batu melewati sumur Jalatunda, maka akan terpenuhi harapannya. Sayangnya, tidak tertarik saya menikmati mitos itu. Saya lebih senang menghanyutkan diri mengamati hijaunya air sumur yang tenang dengan beriramakan kicauan burung-burung di sekitarnya.
Destinasi lainnya adalah menyusuri pematang ladang kentang milik penduduk. Ini memang bukan tempat wisata. Namun, aktivitas ini sungguh menyenangkan. Aktivitas ini membuat saya melebur ke dalam realitas asli masyarakat Dieng. Berada di tengah-tengah lahan penghidupan. Berinteraksi dengan petani. Saya ikut menyelami segala keluh kesah perjuangan petani kentang Dieng sepanjang hidupnya.
13442032271757181004
Ladang kentang menghiasi lekukan bukit-bukit Dieng. @iqbal_kautsar
Kali ini saya tidak meninggalkan Dieng dengan tangan hampa. Saya pulang membawa buah tangan khas Dieng. Carica Dieng dan Cabai Dieng. Carica adalah sebuah lagi ‘indigenousity’ dari Dieng. Di Indonesia, Carica hanya bisa ditemui di Dieng. Buah ini harum, manis dan segar. Carica enak dirasakan terlebih jika dinikmati sebagai manisan. Adapun Cabai Dieng cukup khas sebagai oleh-oleh Dieng. Buah pedas mirip paprika ini tumbuh subur di Dieng. Saya peroleh Cabai Dieng yang masih segar bugar. Langsung dipetik dari ladangnya.
Dan, perjalanan yang ketiga. Saya mantapkan jauh-jauh hari bermaksud menyaksikan Ruwatan Anak Gimbal. Saya ingin melengkapi khasanah perjalanan saya di Dieng dengan upacara budaya yang khas. Tak melulu sekedar menikmati sajian alam dan artefak budayanya. Akhirnya, tujuan saya tercapai. Saya berhasil merekam anak gimbal, prosesi ritual, mitos gimbal, antusiasme masyarakat Dieng, dan perilaku ‘alien’ para turis.
Di lokasi ritus, saya beruntung dapat menjalin kata dan rasa dengan masyarakat setempat. Kami berbincang-bincang seperti sahabat dekat yang telah lama akrab. Mereka sangat ramah dan suka bercerita. Hasilnya, cerita anak gimbal saya dapatkan melimpah.
Saya bertanya kepada seseorang, orang di sekitarnya ramai-ramai ikut memperkaya cerita. Semua semangat menjelaskan ‘indigenousity’ Anak Gimbal Dieng. Sepertinya semua warga Dieng menjadi duta wisata bagi daerahnya. Dari hansip, pemuda sampai orang tua. Mereka benar-benar nyata memiliki Dieng.
13442039471545903699
Ramahnya sinar surya pagi menyambut saya di Gardu Pandang Tieng. Eksotis sunrise.@iqbal_kautsar
Bonus keberuntungan. Keramahan Dieng tak cuma milik masyarakatnya. Aura keramahan Dieng juga saya dapatkan ketika singgah di Gardu Pandang Tieng. Mentari pagi ikhlas menyambut dengan sunrise yang meneguhkan jiwa. Sinarnya megah membalut Gunung Sindoro – di hadapan saya – dengan warna kuning keemasan. Sindoro gagah berkakikan hamparan ladang kentang beserta pemukiman penduduk di lerengnya. Kabut menghiasi di setiap sudut lekukan pinggangnya. Suasana ini mengantarkan saya serasa terbang tinggi di Negeri di Atas Awan.
13442421611677504736
Berada di atas awan. Menghadap G. Sindoro. @iqbal_kautsar
Kesunyian Pusar Vulkanik Jawa
Tetap saja tiga kali berada di Dieng, saya belum bisa menjangkau semua keanekaragamannya. Tetap saja rasanya masih mengapung di permukaan. Meski sesekali mungkin menyelam dangkal.
Saya perlu introspeksi. Mungkin saya salah memahami Dieng. Ternyata eksistensi Dieng bukan sekedar terwujud karena pesona wisatanya.
Lebih tepatnya Dieng adalah Dataran Tinggi Vulkanik di pusar Jawa Tengah yang membentang luas. Dataran Tinggi Dieng dimiliki oleh Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Batang. Kendal, Temanggung dan Pekalongan. Hanya saja, Wonosobo dan Banjarnegara yang lebih beruntung. Keduanya lah pemilik titik-titik wisata Dieng yang telah terkenal selama ini.
Meski kagum dengan pesona wisatanya, saya khawatir andaikala semua keindahan itu sirna lantaran begitu rapuhnya Dieng. Saya teringat pada fitrahnya Dieng di dunia ini. Dieng adalah nyanyian sunyi dari sepenggal cincin api Nusantara di Tanah Jawa. Dibalik tirai keindahan alam dan budayanya, tersimpan bencana vulkanik Dieng yang bisa datang sesuka hatinya.
1344266260149259386
Dieng dulunya adalah sebuah gunung berapi yang sangat besar dan tinggi. Suatu saat gunung tersebut meletus dahsyat. Melemparkan puncaknya ke daerah sekelilingnya. Letusan ini membentuk bukit-bukit besar maupun kecil. Melahirkan Gunung Perahu (2.565 m), Jurang Grawah (2.450 m), dan Gunung Kendil (2.326 m). Serta, perbukitan lain diantaranya Gunung Pakuwojo, Bismo Pangonan dan Sipendu berketinggian antara 2.245 m – 2.395 m.
Kini, meski lampau sekali meletus dahsyat, api Gunung Dieng tidaklah padam. Jejak-jejaknya masih bisa ditemui pada kawah-kawah aktif yang menampakkan diri. Sebut saja, Candradimuka, Sibanteng, Siglagah, Sikendang, Sikidang, Sileri, Sinila, dan Timbang. Kawah Sibanteng, Sinila dan Timbang kerap meletus dan mengeluarkan gas beracun. Rekam sejarah modern menyebutkan Kawah Sinila bersama Timbang pernah memakan 149 korban jiwa pada tahun 1979.
1344263560270607341
Telaga Cebong, teman Desa Sembungan. @jauharii
Juga, jejaknya bisa disaksikan pada kawah-kawah yang telah mati. Kawah mati ini kemudian terisi air, setia menampungnya. Alhasil, terciptalah telaga-telaga dan sumur-sumur sebagai perhiasan tanah vulkanik. Telaga Warna, Telaga Cebong, Telaga Merdada, Telaga Pengilon, Telaga Dringo, Telaga Nila, dan Sumur Jalatunda adalah telaga-telaga yang menghiasi lipatan-lipatan perbukitan Dieng. Sebagian telaga ini menjadi sumber air penghidupan masyarakat Dieng.
13442642972013835698
Telaga Merdada, salah satu kawah mati yang bermetarmofosis menjadi telaga eksotik. @iqbal_kautsar
Inilah Dieng. Kawasan yang menjadi ensiklopedi pengetahuan lengkap tentang aktivitas alam beserta manusia penghuninya. Menyediakan beragam interaksi yang sarat dengan ‘indigenousity’. Tiap lembaran Dieng adalah perpaduan penampang vulkanik alam dengan kehidupan manusia menaklukkan alamnya. Intisarinya tersurat pada aktivitas vulkanik, pesona alam, kekuatan manusia, keluhuran budaya beserta ladang penghidupannya.
Saya kini palingkan muka ke segala penjuru arah Dieng. Tak ada jenuhnya. Cakrawala saya terbentur dinding-dinding bukit Dieng yang menjulang gagah. Namun, tiap kali menghadap ke dinding-dinding Dieng, saya menangkap selalu ada romantika tentang kekuatan manusia. Ini tentang masyarakat Dieng yang dengan upaya gigihnya memberdayakan tanah Dieng. Menghidupkan Dieng. Mengubah Dieng menjadi Nirwana sesungguhnya untuk kehidupannya. Sebagai tempat yang bisa menghidupi ribuan orang.
Suatu perjuangan keras. Setiap lekuk perbukitan Dieng mereka jamah. Anugerah kesuburan tanah Dieng berhasil dikonversikan setiap jengkalnya menjadi lahan kentang, sayuran dan buah-buahan. Terciptalah ladang-ladang penghidupan tempat mereka bersandar dan berjuang .
Bahkan, itu tidak cukup. Masyarakat Dieng tak gentar menyandingkan ladang-ladangnya dengan kawah-kawah Dieng. Saya menyaksikan ladang-ladang mereka hanya sepelemparan batu dari kawah-kawah. Ini seperti sebuah kontradiksi. Batas antara ladang kehidupan dengan kawah kematian begitu dekat. Hampir tak teraba, tak berbau, tak terlihat.
Gambaran itu adalah sebuah tanda. Tatkala ditarik menuju pembacaan wilayah universal Dieng. Tanda yang menyiratkan masyarakat memandang Dieng tak lagi menakutkan. Dan, sepertinya memang demikian sepanjang usia zaman. Dieng selalu lebih baik dilihat dari sisi positif. Dieng lebih banyak memberikan kebermanfaatan.
13442648021636379497
Mengkonversi gunung menjadi lahan pertanian. Bukti masyarakat menghidupkan Dieng. @jauharii
Saya berprasangka mereka melihat kawasan bencana hanyalah sebuah ketakutan berlebihan. Meski sadar bencana setiap saat bisa menerkam, masyarakat tetap tinggal laksana tidak ada gejolak di dalam perut bumi Dieng. Berpikirlah positif. Mereka adalah kaum yang percaya Tuhan, beragama Islam. Semua sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebuah takdir mereka berada. Hidup dan mati di tanah Dieng.
Lantas saya teringat ‘kesaktian’ Kyai Kolodete. Barangkali inilah bukti masyarakat Dieng benar-benar terwarisi kesaktian Kyai Kolodete, leluhurnya. Kyai Kolodete dahulu dengan kesaktiannya berani membuka tanah Dieng yang masih antah berantah. Kini masyarakat Dieng dengan ‘kesaktian jiwa raga’ teguh melanjutkan keberaniannya, memberdayakan Tanah Dieng. Sebuah amanah yang kokoh melintasi zaman. Meski irama sunyi bencana suatu saat nanti bisa nyaring bernyanyi. Iramanya bisa hadir tak terduga menghapus semua keindahan.
Namun, semoga saja tidak. Semoga utopia.
***
Dalam perjalanan pulang ke Jogja, hati terasa seperti ada yang mengganjal. Ini bukan tentang kemolekan alam Dieng. Kalau ini pasti terngiang. Pasti tak ada cukupnya mengeksplorasi alam dan budaya Dieng.
Ini tentang penasaran saya pada Kyai Kolodete. Jika memang Kyai Kolodete nyata pernah hidup dan meninggalkan jejak di Dieng, di manakah makam, petilasan atau pekaringannya?
Saya dapatkan info ada pekaringan Kyai Kolodete di puncak Gunung Kendil, salah satu puncak kaldera Dieng. Suatu referensi menarik mengungkap Dieng dari sisi lain. Inilah yang menggerakkan saya ingin kembali ke Dieng untuk keempat kalinya.
Rasanya saya perlu berziarah mengenang kehidupan Kyai Kolodete. Menemuinya. Mengenang ‘kekuatan’ menitiskan rambut gimbalnya melintasi zaman. Mengenang perjuangan dan keberanian merintis Negeri yang dikepung potensi bencana tapi tak pernah surut menciptakan pesona luar biasa.
Dan, terpenting mengenang Kyai Kolodete yang berhasil memulai yang tiada duanya di dunia ini. Menginisiasi Dieng, sebuah nirwana penuh ‘indigenousity’ yang senyap penuh kerentanan bencana.
13442443981245074646
Kompleks Candi Arjuna Dieng. @jauharii
13442409151193843611
Kaldera Dieng. Sisa letusan hebat masa lalu. Sekarang menjadi pusat peradaban Dieng. @jauharii
1344266978996841000
Papan peta wisata Dieng dari Dieng Plateau Hotel. @jauharii

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...