Minggu, 23 September 2012

Dua Kerajaan Jogja

Dua Kerajaan Di Tanah Bencana


Kota ini dulunya sebuah kerajaan.
Ya, kerajaan kecil yang memisahkan diri dari dinasti induknya yang berkedudukan kurang lebih tak jauh dari tempat kerajaan kecil ini berada, tepat di arah matahari terbit. Kerajaan kecil ini didirikan di antara gunung dan laut. Tepatnya, di Utara ada gunung maut yang masih saja aktif dan dapat mengancam kelangsungan hidup makhluk apapun yang berdiam didekatnya, Gunung Merapi. Lalu di Selatan ada lautan terganas dengan ombak yang bisa merenggut semua kapal dan menenggelamkan hingga jauh ke dasar palung, Laut Selatan.
Membujur dari arah gunung berapi dan laut itu, ada empat sungai yang berjajar rapi mengaliri persawahan. Selama hampir dua ratus tahun sejak kerajaan kecil itu berdiri, dan mungkin saja beratus tahun sebelumnya, gunung api itu telah memakan banyak korban. Bahkan belakangan, di jaman modern, tahun 2006, hampir 6000 nyawa melayang dan ribuan lain kehilangan tempat tinggal karena Kerajaan kecil itu dihantam bencana lain, gempa bumi.
“Lalu, siapa yang memutuskan bahwa Kerajaan kecil itu dibangun di tanah bencana ini?” tanya laki-laki yang duduk di jok depan kendaraan umum beroda tiga itu. “Dan apa pertimbangannya?”
“Pertanyaan yang cerdas,” puji laki-laki yang mengayuh becak. “Pertanyaan yang sangat cerdas.”
“Wah, baru kali ini ada yang memuji saya begitu.” Sahut laki-laki yang menumpang di depan, ada syal kotak-kotak bermerk Zara melilit lehernya.
“Tapi kemana kita sekarang?” tanya yang mengayuh becak.
“Nah, itu juga pertanyaan cerdas.” Sahut penumpangnya, “Saya nggak tahu!”
Cit!
Becak itu langsung mengerem. Berhenti tepat ditengah jalan.
“Sebentar,” kata si pengayuh yang langsung menatap penumpangnya, “Ini sebenarnya kita bodoh dua-duanya, atau cerdas dua-duanya.” Ujar si pengayuh. “Tadi sampeyan langsung naik begitu saja ke becak saya.”
“Ya kan tadi situ yang menawari saya naik becak ini.” Kilah penumpangnya. “Ya saya naik aja dari pada kebingungan di bandara, mending saya jalan-jalan melihat-lihat kota, siapa tahu saya dapat ide mau kemana.”
“Hotel, sampeyan pasti butuh hotel kan?” tanya si pengayuh becak.
“Ya saya butuh hotel, tapi saya nggak punya uang banyak.”
“Tapi cukup untuk membayar becak ini kan?”
“Oh tentu saja.”
“Makan di angkringan?”
“Itu juga bisa.”
“Kalau begitu, kita ke angkringan dulu saja ya.”
“Bisa.”
“Tapi sebelumnya, bisa kita berkenalan terlebih dahulu?”
“Boleh.”
“Saya Koeswoyo.” Si pengayuh menyodorkan tangannya.
“Saya An..” laki-laki penumpang itu menghentikan kalimatnya, ia mengurungkan niat untuk menyebutkan nama aslinya, “Orang-orang memanggil saya Mamen.”
Keduanya pun bersalaman.
*
Laki-laki pemberani itu bernama Pangeran Mangkubumi.
Ia ahli strategi perang, ia negosiator sejati dan satu lagi, ia adalah seorang arsitek. Pangeran Mangkubumi adalah sosok yang mendesain Kraton Kasunanan Surakarta ketika kraton lamanya di Kartasura terbakar oleh banyak pertempuran akibat pemberontakan dan tak mungkin dipakai lagi.
Usai Kraton Kasunanan Surakarta yang baru didirikan ditempatnya berada sekarang, pemberontakan kembali muncul, kali ini dari sosok liat dan gigih lain yang bernama Pangeran Samber Nyawa. Maka, Sunan yang bertahta pada saat itu, meminta Pangeran Mangkubumi untuk bernegosiasi dengan Pangeran Samber Nyawa agar menghentikan aksi pemberontakannya yang merong-rong kasunanan. Sunan berjanji, jika Mangkubumi berhasil meredam pemberontakan Pangeran Samber Nyawa, ia akan diberi tanah yang cukup luas dan diangkat menjadi bupati penguasa tanah di wilayah Sragen itu. Mangkubumi yang bertubuh pendek namun berotot dan tampan itu pun menunjukkan keahliannya bernegosiasi, tak berapa lama, pemberontakan Pangeran Samber Nyawa berhasil diredam seperti keinginan Sunan yang berkuasa di Kraton Surakarta. Sayangnya, ketika Pangeran Mangkubumi kembali ke kraton untuk menagih tanah yang telah dijanjikan oleh Sunan, janji itu diingkari.
“Dan memberontaklah Pangeran Mangkubumi.” Tutur Koeswoyo mengakhiri kisahnya. “Hasil dari pemberontakan itu adalah kerajaan tempat aku dilahirkan ini, Kraton Kasultanan Yogyakarta.”
“Luar biasa!” seru Mamen, “Kisah yang seru!”
“Ya,” sahut Koeswoyo, “Tapi bukankah kau seharusnya mendengar kisah itu dibangku sekolah? Ada kok di buku pelajaran sejarah.”
“Eh,” ujar Mamen, “Sepertinya kau harus membaca kisahku di buku yang sudah diterbitkan, ada dijual di toko buku terdekat.”
“Buku?”
“Ya,” jawab Mamen, “Aku bermasalah dengan pelajaran Sejarah.”
“Jadi sampeyan seorang penulis?” tanya Koeswoyo.
“Nah, itu juga penjelasan yang sangat rumit.” Jawab Mamen, “Temanku yang menulis, namanya Rah.. tidak-tidak, aku memanggil Sobar, dari panggilan Sob. Kau tahu, kadang kita memanggil seorang teman dekat dengan sebutan ‘sobat’?”
“Oh kayak panggilan ‘dab’ ya di Jogja?”
“Dab?”
“Ya, ‘dab’ bahasa sebaliknya dari ‘mas’”
“Ya begitu.”
“Jadi Sobar yang menuliskan buku untukmu?”
“Ya, dia sobat yang sabar.”
“Hmm,” desar Koeswoyo, “Memang susah menemukan sosok yang bisa sabar pada kita.”
“Tapi kau bisa sabar menghadapi tamu sepertiku?”
“Oh ya?” sahut Koeswoyo, “Mungkin karena aku orang Jogja,”
“Jadi orang Jogja sabar-sabar?”
“Biasanya begitu.” Jawab Koeswoyo. “Apalagi sesekali aku bekerja sebagai pemandu wisata.”
“Guide maksudnya?”
“Ya, GUIDE.” Tegas Koeswoyo, “Apa yang kau butuhkan?”
“Kau tahu tempat pijat?”
“Haha!”
Keduanya tertawa bersama. Menjadi akrab diantara suguhan nasi kucing, teh gula batu dan sate usus yang harganya membuat Mamen tercengang saking murahnya.
“Bukumu yang ditulis sobatmu yang sabar itu.” kata Koeswoyo kemudian. “Bercerita tentang apa?”
Mamen meneguk teh hangat gula batunya perlahan-lahan. “Ceritanya sungguh sederhana Koes.” Kata Mamen kemudian, setelah tenggorokannya hangat. “Angkringan ini tutup jam berapa?”
“Cukup sampai kau menceritakan buku itu.”
“Ah, jika begini, aku tak akan pernah mendapatkan royalty dari buku itu!”
“Berapa harga bukunya?” tanya Koeswoyo.
“Lima puluh ribu kurang sedikit.”
“Itu upahku menjadi pemandu wisata seharian.”
“Apakah niatmu sama dengan yang aku pikirkan Koes?”
“Tentu saja.” Jawab Koeswoyo tersenyum. “Kita barter.”
“Baiklah, setuju.” Sahut Mamen, malam semakin larut dan cerita akan segera dimulai.
*
Laki-laki itu terpaku ditempat berdiri. Baru kali ini ia melihat sosok perempuan secantik itu. Rambut hitamnya panjang tergerai hingga ke bahu. Bibirnya terkatup dengan indah, hidungnya sempurna. Pipinya sangat lembut memantulkan cahaya dan matanya, sejuk dan memancarkan keheningan telaga.
“Itu isi bukumu?”
“Kau ingin membacanya sendiri?”
“Baiklah, lanjutkan kisahmu.”
Tubuhnya yang indah sempurna hanya tertutupi sehelai kain yang membungkus dada hingga mata kakinya. Jemari-jemari lentiknya yang sempurna tengah membuat riak-riak kecil di air danau yang penuh dengan bunga teratai. Jujur aku katakan, sejak aku dilahirkan, baru kali ini aku melihat kecantikan yang sungguh sempurna seperti itu. Mungkin ini terkesan berlebihan, tapi pernahkah kau melihat sebuah karya ciptaan Tuhan yang membuat kau terpaku, dadamu membeku sehingga kau lupa bahwa waktu terus menggerus umurmu?
“Aku tak tahu kau tengah menceritakan apa…”
“Dengarkan saja.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Kau, apa yang akan kau lakukan jika kau melihat mahakarya Tuhan dihadapanmu?”
“Aku akan mengejarnya, berusaha memilikinya.”
Aku pun demikian. Aku mengejar perempuan itu. Dia terkejut melihat kehadiran seorang laki-laki di dekatnya, yang sedari tadi mengintip gerak-geriknya dari jauh, yang langsung jatuh hati melihat lekuk lengan indahnya.
“Ijinkan aku bertemu denganmu lagi,” pintaku. Perempuan itu tersenyum. Tuhan, entah bagaimana Engkau menciptakannya, tapi senyum itu membuat hatiku bersinar.
“Ya, lupakan soal kecantikan itu, katakan apa jawaban perempuan itu?” pinta Koeswoyo.
“Dia memberiku teka-teki.”
“Sebuah teka-teki?”
“Ya.”
“Apa?”
“Kau siap mendengarkan?”
“Tentu saja, nanti kita pecahkan bersama karena aku sangat ingin bertemu dengan perempuan secantik yang kau ceritakan itu.”
“Hanya jika sebuah teratai menjadi abadi, maka kau akan terus melihatku dan memilikiku, selamanya tak lekang oleh waktu.”
“Ulang lagi.”
Tapi terkadang, tak ada siaran ulang.
*
Drrrr…
Drrrrrr…
Drrrrrrrr…
Aku terbangun seketika. Tanah bergetar. Gempa!
Aku menoleh kesana-kemari, tapi tak ada siapapun.
“Gempaaa!” teriakku seraya bangkit dan berlari sekuat tenaga.
“Itu bukan gempa.” Kata sebuah suara, tiba-tiba dari belakang tengkukku. Aku segera menoleh kebelakang. “Tenang.”
“Tapi tanah bergetar Koes!” ujarku dengan suara panik.
“Tentu saja tanah bergetar,” jawab Koeswoyo yang berdiri di depanku seraya menenteng ember berisi air dan handuk.
“Benar kan, gempa?!” tanyaku, “Kenapa kau tenang-tenang saja!”
“Bukan gempa.” Jawab Koeswoyo dengan nada tenang. “Itu kereta api yang baru saja lewat.”
“Apa?!” tanyaku lagi.
“Kereta api, Mamen,” jawab Koeswoyo, “You know? Sampeyan tau KERETA API kan?”
“Damn!”
“Cuci muka dulu sini.” Tawar Koeswoyo seraya menyodorkan ember yang sedari tadi dipegangnya kearahku.
“Dimana aku?”
“Jogja.”
“Ya aku tahu, maksudku dimananya Jogja aku?”
“Di kosku.”
“Kosmu?”
“Ya.”
“Eh?”
“Yah, kau tertidur diatas tikar angkringan semalaman, aku membangunkanmu, kau berdiri, melangkah keatas becak dan tertidur lagi, sampai pagi kau tidur diatas becakku itu, hingga GEMPAAAAA tadi membangunkanmu.” Kata Koeswoyo panjang lebar.
“Oh, well.” Desahku, “Air itu sepertinya segar.” Kataku seraya melangkah dan segera mencelupkan kepalaku ke dalam ember biru penuh air dingin itu. Byur!
*
“Boleh aku bertanya?” tanya Koeswoyo tiba-tiba, kami tengah berjalan kaki menyusuri rel kereta yang berada tak jauh dari kamar yang dikontrak Koeswoyo. “Tapi maaf sebelumnya..” lanjut Koes lagi, orang Jogja ini sungguh terlalu menjaga kesopanan.
“Ya Koes, tanya aja.” Jawabku.
“Apa yang membawamu ke Jogja?” tanya Koeswoyo. Aku segera menghentikan langkahku dan menoleh kearahnya. “Kau tak membawa baju sehelai pun, tak membawa sikat gigi,” ujarnya, “Hanya ada dua tipe orang yang bepergian seperti itu.”
“Pertama…” sahutku cepat.
“Kau pergi menghindari sesuatu di tempat asalmu.” Jawab Koeswoyo.
“Kedua?”
“Kau mengejar sesuatu.”
“Ketiga?”
“Ada yang ketiga?” tanya Koeswoyo.
Aku mengangguk padanya, “Seseorang laki-laki kaya membelikanku tiket beberapa jam sebelum keberangkatan.”
“Wow!” seru Koeswoyo, “Asistenmu lupa memberitahumu bahwa kau harus pergi ke Jogja, sehingga kau tak sempat bersiap?”
“Hahaha!” tawaku meledak mendengar kesimpulannya, “Kau tak lihat kemeja yang aku pakai ini?”
“Valet. Ya aku lihat, kau bekerja di peternakan burung?”
“Burung?”
“Burung Walet kan?”
“Ini Valet Koes, tau Valet?”
Koeswoyo menggeleng.
“Aku tukang parkir Koes,” terangku, “Dan tukang parkir tak memiliki asisten.”
“Wow!” seru Koeswoyo, “Tukang parkir di Jakarta bisa tampil keren seperti kamu ya.” Lanjutnya, “Seragamnya bagus dan bisa jalan-jalan naik pesawat ke Jogja.”
“Nah!” sahutku, “Kan aku sudah bilang ada yang memberiku tiket.”
“Masih ada orang baik juga di Jakarta.” ujar Koeswoyo. “Padahal aku lihat di televisi, Jakarta penuh kejahatan.”
“Yeah. Kadang televisi menipu Koes.”
“Jadi, janganlah menipuku, katakan apa yang kau cari di Jogja?” tanya Koeswoyo, “Dan aku akan membantumu.”
“Aku mencari seorang perempuan Koes.”
“Hahaha!”
“Kenapa tertawa?”
“Kau serius?”
“Emang kelihatan becanda ya?”
“Enggak sih, cuma…”
“Cuma apa?”
“Jauh-jauh ke Jogja cuma untuk mencari seorang perempuan?”
“Yah, nasibku Koes.”
“Dia pasti sangat spesial, maksudku perempuan yang kau cari ini, dia pacarmu?”
“Bukan.”
“Istrimu?”
“Apalagi itu, tentu saja bukan.”
“Jadi?”
“Dia Adriana,” jawabku, “Panjang ceritanya, dan aku tak mungkin menceritakan seisi bukuku yang pertama kepadamu sekarang,”
“Oh, dia Adriana yang ada dibuku pertamamu?”
“Iya.”
“Dia di Jogja sekarang?”
“Aku tak tahu Koes, tapi semestinya begitu karena tiket yang diberikan padaku membawaku naik pesawat ke kota ini.”
“Ada dua juta penduduk di kota ini.” Terang Koeswoyo.
“Dan ada berapa penjual gudeg disini Koes?” tanyaku.
“Banyak.”
“Lalu kenapa dari tadi kita terus berjalan menyusuri rel ini dan nggak sampai-sampai juga ke warung gudegnya Koes?”
“Kau lapar?”
*
“Pertamakali makan gudeg?” tanya Koeswoyo. Aku mengangguk tanpa menjawab dengan verbal, mulutku penuh makanan yang disebutnya. “Jadi, adakah informasi lain dimana perempuan bernama Adriana itu berada di Jogja ini?” lanjutnya lagi, aku segera mengeluarkan secarik kertas tiket dan menyodorkan kepadanya, diatas kertas itu, telah aku salin sederet kalimat berisi teka-teki tentang keberadaan Adriana. Koeswoyo menerima kertas itu dan membukanya, mimiknya terlihat tak mengerti, namun kemudian matanya tampak mulai membaca deretan kalimat tulisan tanganku dipesawat itu;
“Dari tempatku berbaring, aku melihat kepala-kepala sang Pangeran bergelimpangan dan menghilang. Dari Istana Keheningan aku memandang puncak Nirwana, menunggumu hingga malam menjelang. Aku yang mengharapkan kedatanganmu adalah Adriana.” Koeswoyo membacanya dengan perlahan. “Ini informasinya?” tanyanya kemudian, aku hanya mengangguk sambil terus menyuapi mulutku sendiri dengan gudeg. “Kalian orang Jakarta memang sudah gila.” Komentar Koeswoyo seraya memandangku dengan pandangan tak mengerti. Aku buru-buru menelan makananku, kata-kata terakhirnya harus aku jawab dengan cepat sebelum aku kehilangan satu-satunya orang yang aku kenal di kota ini.
“Koes.” Kataku kemudian seraya meneguk air putih, “Aku akan memberitahumu sesuatu.”
“Apa itu?”
“Bantu aku memecahkan teka-teki itu dan aku jamin namamu akan tertulis dibuku keduaku.” Ujarku padanya.
“Kau akan menerbitkan buku lagi?”
“Ya.” Jawabku, padahal aku tak yakin, aku hanya merayunya, maksudku menipunya, well, memberinya harapan lebih tepat.
“Apa untungnya bagiku?” tanya Koeswoyo, pertanyaan yang membuatku terkejut, aku pikir hanya orang Jakarta yang materialistis.
“Itu juga pertanyaanku pada Sobar.” Kataku kemudian. “Aku selalu bertanya mana royalty dari buku pertamaku itu, tapi aku tak sanggup menjelaskan soal royalty itu kepadamu Koes.” Lanjutku sedikit panjang, “Dan jangan kau paksa.”
“Kalian memang aneh, orang Jakarta.” ujar Koeswoyo lagi. “Seperti kataku tadi, aneh.”
“Anehnya?”
“Kau tahu, aku harus menarik becak dan bekerja menjadi pemandu wisata untuk mencari makan, dari terbit fajar hingga terbenam matahari, sedang kalian malah bermain-main dengan teka-teki.” Kata Koeswoyo.
“Kau pikir?” aku tak mampu melanjutkan kata-kataku.
“Ya aku berpikir kalian itu, kau dan si pemberi teka-teki ini, adalah orang-orang aneh. Sampeyan juga edan.”
“Koes!” sergahku, “Aku juga butuh uang seperti dirimu, kau lihat, aku tak membawa uang lebih dari lima ratus ribu!” seruku, “Padahal aku jauh dari kotaku!”
“Itu dia keanehannya. Demi apa coba?”
“Demi cinta Koes, cinta.”
“Baiklah, aku akan membantumu, mari kita cari cinta sampeyan itu, si Adriana itu.”
“Terimakasih Koes!” teriakku.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Koeswoyo.
“Tunjukkan dimana toilet.”
“Itu ada sungai.”
“Sungai?”
“Ya.”
“Kau becanda.”
“Tidak.”
“Kau serius?”
“Ya.”
“Aku harus buang air besar di sungai?”
“Katanya demi cinta.”
*
“Sungai yang sedang kau kotori dengan gudeg berwarna kuning itu bernama Gajah Wong.” Kata Koeswoyo tiba-tiba, suaranya kembali terdengar dekat ditengkukku. Aku sedang berjongkok tanpa celana di antara bebatuan sungai dengan perut melilit. “Dulu ceritanya, seorang abdi kerajaan tengah memandikan seekor gajah kerajaan di sungai ini, dulu mungkin airnya tak sebanyak ini sehingga saat memandikan gajah yang besar itu sang abdi merasa kekurangan air.” Kata Koeswoyo lagi, aku mencari-cari dimana suara si Koes itu berasal, tapi tak menemukan sosoknya. Sungguh, suaranya sangat dekat. “Lalu, karena kesal tak mendapat air yang cukup untuk memandikan gajahnya, sang abdi berteriak lantang dengan nada menghina; sungai kok airnya sedikit! Sungai apa ini! Begitu teriak sang abdi itu.” lanjut Koeswoyo meneruskan kisahnya. “Alam pun seketika murka, dan entah dari mana asalnya, mendadak ada air bah yang cukup besar dari arah gunung Merapi yang kau lihat itu. Sungai itu mendadak mengamuk dan menghanyutkan sang abdi bersama gajahnya!” Suara Koeswoyo berhenti. Mendadak mules di perutku pun selesai seketika, aku takut tiba-tiba air bah datang dan menggulungku ke laut. Setelah mencuci alat pembuanganku secukupnya aku segera bangkit dan mengambil celana yang kutaruh diatas bebatuan. Saat itulah aku melihat Koeswoyo tengah berjongkok di balik batu. “Kenapa?” tanyanya, “Kau takut ada air bah?” aku hanya meringis dan buru-buru menjauh ke tepian sungai. “Sejak kejadian air bah yang menggulung sang abdi dan gajahnya itu, orang-orang menamai sungai ini Gajah Wong.” Koeswoyo merampungkan ceritanya, “Gajah artinya yaaa gajah, Wong artinya orang!” teriaknya dari tengah sungai.
“Dan Gajah Wong ini adalah salah satu sungai yang melindungi Kerajaan kecil itu?!” seruku dari pinggir sungai.
“Ya!”
“Tempat yang sungguh strategis. Di Utara ada gunung berapi, di Selatan ada lautan ganas yang melindungi dari serangan angkatan laut dan di kedua sisi lainnya, Barat dan Timur ada sungai-sungai yang dalam.” Simpulku.
“Anda benar Mamen!”
“Pangeran Mangkubumi itu arsitek yang cerdas.” Kataku kemudian, “Dia tahu daerah ini lanskap yang sempurna untuk mendirikan sebuah kerajaan.”
“Bayangkan jika sampeyan seorang Pangeran Mangkubumi dan memandang lanskap yang sempurna ini dari atas punggung kudamu Mamen.” Ujar Koeswoyo.
“Aku melihat surga.” Kataku dengan cepat.
“Sebuah nirwana.” Ucap Koeswoyo. Dan aku memandangnya dengan cepat.
“Nirwana?” aku mengulangi kata-katanya.
“Ya.” Tegas Koeswoyo, “Setelah bla-bla-bla kalimat teka-teki itu adalah dari Istana Keheningan aku memandang puncak Nirwana bukan?”
“Benar.” Jawabku seraya merogoh saku celana dan mencari potongan tiket pesawatku, membukanya dengan cepat dan membaca kembali teka-teki itu, “Dari tempatku berbaring, aku melihat kepala-kepala sang Pangeran bergelimpangan dan menghilang. Dari Istana Keheningan aku memandang puncak Nirwana, menunggumu hingga malam menjelang. Aku yang mengharapkan kedatanganmu adalah Adriana.”
“Aku rasa kita hanya punya waktu sampai matahari terbenam hari ini Men,” tukas Koeswoyo.
“Kenapa begitu?”
“Ada kalimat; menunggumu hingga malam menjelang.”
“Waduh!” seruku, “Dan kita masih belum menemukan informasi yang menggembirakan sama sekali.” Ujarku gusar.
“Dan aku memiliki satu teka-teki lagi untuk sampeyan,” Kata Koeswoyo tiba-tiba. Aku memandangnya seketika. “Kau mengatakan teka-teki itu semalam.” Terang Koeswoyo.
“Satu teka-teki lagi?” tanyaku.
“Kau mengigau dan aku mencatat igauan sampeyan itu.”
“Kau serius?” tanyaku sekali lagi, tapi Koeswoyo buru-buru merogoh kantung celananya dan mengeluarkan selembar uang seribuan lusuh.
“Aku mencatatnya disini, semalam di angkringan nggak ada kertas.” Jelas Koeswoyo, ia kemudian menyodorkan uang seribu itu kepadaku. Aku buru-buru meraih uang kertas seribu itu dan membacanya;
“Koes?”
“Ya.”
“Kau yakin ini kata-kataku?”
“Ya aku mencatatnya.”
“Kau tahu, selain aku selalu membolos pelajaran sejarah, aku juga sering tertidur saat pelajaran bahasa Indonesia, aku nggak bisa menulis puisi Koes.” Kataku pelan dengan mata menatap deretan kalimat diatas uang kertas itu. “Kau yakin ini igauanku?”
Koeswoyo mengangguk mantap. “Tapi satu teka-teki aja belum terpecahkan Koes.” Kataku seraya kembali memandang uang seribuan itu;
Hanya jika sebuah teratai menjadi abadi, maka kau akan terus melihatku dan memilikiku, selamanya tak lekang oleh waktu.

sumber : kerajaan

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...