1. Sejarah dan Lokasi
Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad
ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de
Crivijaya pada tahun 1918 M.
Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan
di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak
ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan
Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and
Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa,
San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu
tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang
2. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan
Sriwijaya berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
B. Sumber Asing
Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama adalah
tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih
dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para
pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan
oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di
Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia
berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685
I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun untuk
menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina.
Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang
secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M
Sumber Arab
Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik
menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu,
digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara
yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa
hasil bumi lainya.
Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari
kerajaan yang ada di India seperti dengan Kerajaan Nalanda, dan Kerajaan
Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya
mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda
Sumber lain
Pada tahun 1886 Beal mengemukakan pendapatnya bahwa, Shih-li-fo-shih
merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, Sumber lain,
yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa,
Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai
Musi.
Pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, prasasti
peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu,
Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama
seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar
raja
C. Sumber Lokal atau Dalam Negeri
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh
raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti itu antara lain sebagai
berikut.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan
tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu,
bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213
tentara yang berjalan kaki.
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya
bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang
berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan
Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu
kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu
sangat strategis untuk perdagangan
Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.
Prasasti Karang Berahi
Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi,
yang menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor
dengan tujuan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari
Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya
melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu,
Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas
Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa
Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk
membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
Prasasti Telaga Batu.
Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M.
Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala
ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil
tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini
digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para
calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang
dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana
untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di
pusat kerajaan., maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan
Sriwijaya
Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
KEJAYAAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Balaputradewa. Ia mengadakan hubungan dengan raja Dewapaladewa dari India. Dalam prasasti Nalanda
yang berasal dari sekitar tahun 860 M disebutkan bahwa Balaputradewa
mengajukan permintaan kepada raja Dewapaladewa dari Benggala untuk
mendirikan biara bagi para mahasiswa dan pendeta Sriwijaya yang belajar
di Nalanda. Balaputradewa adalah putra Samaratungga dari Dinasti Syailendra yang memerintah di Jawa Tengah tahun 812 – 824 M.
Sriwijaya pernah pula menjadi pusat pendidikan dan pengembangan agama Budha. Seorang biksu Budha dari Cina bernama I-tsing
pada tahun 671 berangkat dari Kanton ke India untuk belajar agama
Budha. Ia singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa
sansekerta. Di Sriwijaya mengajar seorang guru agama Budha terkenal
bernama Sakyakirti yang menulis buku berjudul
Hastadandasastra. Para biksu Cina yang hendak belajar agama ke India
dianjurkan untuk belajar di Sriwijaya selama 1 – 2 tahun. Pada masa
berikutnya, yaitu pada tahun 717 dua pendeta Tantris bernama Wajrabodhi dan Amoghawajra datang ke Sriwijaya. Kemudian, antara tahun 1011-1023 M datang pula pendeta dari Tibet bernama Attisa untuk belajar agama Budha kepada mahaguru di Sriwijaya bernama Dharmakirti.
Kehidupan Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya Ekonomi
Menurut
catatan asing, Bumi Sriwijaya menghasilkan bumi beberapa diantaranya,
yaitu cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana,
kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan,
rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter
dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan
Cina, India, Arab dan Madagaskar.
Politik
Untuk
memperluas pengaruh kerajaan, cara yang dilakukan adalah melakukan
perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa
Sriwijaya Dapunta Hyang pada tahun 664 M, dengan menikahkan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.
Saat kerajaan Funan
di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga
bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada
lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India
dan Cina, serta menduduki semenanjung malaya. Kekuatan armada terbesar
Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau jawa termasuk
sampai ke Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya
telah mampu menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Raja
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya. Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja
Sriwijaya, yaitu :
1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya
3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya
Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :
- Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M)
- Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
- Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
- Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
- Maharaja (berita Arab, 851 M)
- Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)
- Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
- Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
- Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
- Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
- Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)
Sosial dan Budaya
Sriwijaya
yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha telah berkembang
iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha. Itsing, seorang
pendeta Cina pernah menetap selama 6 tahun untuk memperdalam agama
Budha. Salah satu karya yang dihasilkan, yaitu Ta Tiang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan yang selesai ditulis pada tahun 692 M.
Peninggalan-peninggalan
Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi, Riau,
Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan
kerajaan maritim selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat
dalam kurun waktu yang lama.
Prasasti
dan situs yang ditemukan disekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru
(abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684
M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs
Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa.
Peninggalan
sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di jambi, Sumatera
Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi
Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar
batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi.
Di
Lampung, prasasti yang ditemukan, yaitu Prasasti Palas Pasemah dan
Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau, Candi Muara Takus yang berbentuk
stupa Budha.
Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Akibat
dari persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan, Raja Rajendra
Chola melakukan dua kali penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya. Bahkan pada
penyerangganya yang kedua, Kerajaan Chola berhasil menawan Raja Cri
Sanggrama Wijayatunggawarman serta berhasil merebut kota dan
bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya.
Pada
abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang luar biasa.
Kerajaan besar di sebelah utara, seperti Siam. Kerajaan Siam yang juga
memiliki kepentingan dalam perdagangan memperluas wilayah kekuasaannya
ke wilayah selatan. Kerajaan Siam berhasil menguasai daerah semanjung
Malaka, termasuk Tanah Genting Kra. Akibat dari perluasan Kerajaan Siam
tersebut, kegiatan pelayaran perdagangan Kerajaan Sriwijaya semakin
berkurang. Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan lemah yang wilayahnya
terbatas di daerah Palembang, pada abad ke-13 Kerajaan Sriwijaya di
hancurkan oleh Kerajaan Majapahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar