Rabu, 01 Agustus 2012

Jauhkan Rasa Iri

Dalam hidup kita pasti akan selalu menengok keluar dan kedalam diri kita, atau sebaliknya. Manusia senang membanding-bandingkan antara satu dengan lain, yang baik maupun yang buruk. Sifat sifat membandingkan itu kadang menimbulkan sifat tidak baik. Kalau ada orang berbuat jahat, barangkali akan kita nilai diri kita ‘lebih baik’ lalu sedikit banyak menjadi sombong. Kalau melihat orang lain senang, mendapat rezeki misalnya, kadang membuat kita tumbuh rasa iri.
Suatu ketika ada seorang bertanya kepada ustad: “Ustad, bagaimana saya mengatasi perasaan iri, orang tua saya lebih memperhatikan kakak-kakak saya, lebih mencukupi mereka. Tapi kenyataannya saya malah lebih mapan sementara kakak-kakak saya malah belum.”
Penanya ini sepertinya bertanya tapi sebenarnya jawabannya sudah ada dalam pertanyaannya itu sendiri. Penilaian dan pembandingan kita terhadap orang lain, yang menjadi sebab ke-iri-an kita seringkali sangat subjektif. Mungkin hampir semua anak akan menilai orangtuanya tidak adil sehingga menyebabkan iri terhadap saudaranya dan bahkan menjadi kebencian ke orang tua. Kita mungkin tak pernah tahu pertimbangan orangtua dalam menyikapi anak-anaknya karena jauh tersimpan di lubuk hati. Bisa saja anak yang satu dipandang lebih lemah sehingga lebih membutuhkan dukungan. Dalam kasus di atas justru malah terbukti kalau si penanya ternyata lebih mapan, lebih kuat menghadapi hidup. Dan jikalaupun benar orang tua memberikan kasih sayang atau perhatian yang berbeda bukankah hal itu tidak menjadi pembenar untuk benci? Kalau memang demikian anggaplah itu juga hak prerogatif orang tua yang harus dihormati. Bukankah jasa orangtua juga jauh lebih besar? Lagipula kalau diri kita lebih mapan bukankah tanggung jawab kita juga untuk membantu saudara kita yang masih kesulitan.
Iri hati hanya akan menggerogoti jiwa kita. Lihatlah sekeliling, tetangga, teman, dari hari ke hari ada saja yang berpotensi membuat iri. Gaji besar, mobil baru, rumah baru, seolah olah membuat kita semakin lama semakin kecil, tertinggal, lalu menjadi minder, rapuh, sakit hati, atau apapun yang membuat kita lebih menderita jika kita melihatnya dari sisi negatif. Kita seringkali lalu lari dari kenyataan. Keinginan untuk harta lebih, menyaingi kawan atau tetangga membuat apapun dilakukan.
Iri sebenarnya berasal dari persepsi dan sudut pandang kita sendiri. Kalau kita selalu berpikir dan bertindak positif maka insyaallah penyakit iri tak akan tumbuh. Jika kita selalu bersyukur dengan apa yang kita peroleh bahkan ikut bersyukur dan ikut berbahagia dengan apa yang diperoleh teman, tetangga atau saudara, maka iri hati tak akan pernah terpikirkan.
Suatu ketika Rasulullah menunjukkan bahwa ada seorang shahabat yang disebutkan sebagai ahli syurga. Seorang shahabat lain, Abdullah bin Amr bin Ash menjadi penasaran. Ia lalu ‘membuntuti’ shahabat yang disebut sebagai calon penghuni syurga tadi, bahkan sampai ikut selama 3 hari 3 malam menginap dirumahnya karena ingin tahu amal apa yang diperbuat. Abdullah tak melihat ada amal yang istimewa, bahkan tak dilihatnya pula shahabat tadi bangun malam untuk sholat tahajud misalnya.
Saking penasaran Abdullah bertanya kepadanya;”Amal apakah gerangan yang kamu lakukan sampai kamu mencapai tingkatan itu, yang kami tidak mampu lakukan?”
Shahabat itu menjawab: ”Tidak ada amalan apa-apa yang istimewa kecuali yang kamu lihat, hanya saja aku tidak punya rasa benci dan iri dengki kepada salah seorang pun dari kaum muslimin yang dikaruniai Allah kebaikan”.

sumber :
tamim blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar