Dalam hidup kita pasti akan selalu menengok keluar dan kedalam diri
kita, atau sebaliknya. Manusia senang membanding-bandingkan antara satu
dengan lain, yang baik maupun yang buruk. Sifat sifat membandingkan itu
kadang menimbulkan sifat tidak baik. Kalau ada orang berbuat jahat,
barangkali akan kita nilai diri kita ‘lebih baik’ lalu sedikit banyak
menjadi sombong. Kalau melihat orang lain senang, mendapat rezeki
misalnya, kadang membuat kita tumbuh rasa iri.
Suatu ketika ada seorang bertanya kepada ustad: “Ustad, bagaimana
saya mengatasi perasaan iri, orang tua saya lebih memperhatikan
kakak-kakak saya, lebih mencukupi mereka. Tapi kenyataannya saya malah
lebih mapan sementara kakak-kakak saya malah belum.”
Penanya ini sepertinya bertanya tapi sebenarnya jawabannya sudah ada
dalam pertanyaannya itu sendiri. Penilaian dan pembandingan kita
terhadap orang lain, yang menjadi sebab ke-iri-an kita seringkali sangat
subjektif. Mungkin hampir semua anak akan menilai orangtuanya tidak
adil sehingga menyebabkan iri terhadap saudaranya dan bahkan menjadi
kebencian ke orang tua. Kita mungkin tak pernah tahu pertimbangan
orangtua dalam menyikapi anak-anaknya karena jauh tersimpan di lubuk
hati. Bisa saja anak yang satu dipandang lebih lemah sehingga lebih
membutuhkan dukungan. Dalam kasus di atas justru malah terbukti kalau si
penanya ternyata lebih mapan, lebih kuat menghadapi hidup. Dan
jikalaupun benar orang tua memberikan kasih sayang atau perhatian yang
berbeda bukankah hal itu tidak menjadi pembenar untuk benci? Kalau
memang demikian anggaplah itu juga hak prerogatif orang tua yang harus
dihormati. Bukankah jasa orangtua juga jauh lebih besar? Lagipula kalau
diri kita lebih mapan bukankah tanggung jawab kita juga untuk membantu
saudara kita yang masih kesulitan.
Iri hati hanya akan menggerogoti jiwa kita. Lihatlah sekeliling,
tetangga, teman, dari hari ke hari ada saja yang berpotensi membuat iri.
Gaji besar, mobil baru, rumah baru, seolah olah membuat kita semakin
lama semakin kecil, tertinggal, lalu menjadi minder, rapuh, sakit hati,
atau apapun yang membuat kita lebih menderita jika kita melihatnya dari
sisi negatif. Kita seringkali lalu lari dari kenyataan. Keinginan untuk
harta lebih, menyaingi kawan atau tetangga membuat apapun dilakukan.
Iri sebenarnya berasal dari persepsi dan sudut pandang kita sendiri.
Kalau kita selalu berpikir dan bertindak positif maka insyaallah
penyakit iri tak akan tumbuh. Jika kita selalu bersyukur dengan apa yang
kita peroleh bahkan ikut bersyukur dan ikut berbahagia dengan apa yang
diperoleh teman, tetangga atau saudara, maka iri hati tak akan pernah
terpikirkan.
Suatu ketika Rasulullah menunjukkan bahwa ada seorang shahabat yang
disebutkan sebagai ahli syurga. Seorang shahabat lain, Abdullah bin Amr
bin Ash menjadi penasaran. Ia lalu ‘membuntuti’ shahabat yang disebut
sebagai calon penghuni syurga tadi, bahkan sampai ikut selama 3 hari 3
malam menginap dirumahnya karena ingin tahu amal apa yang diperbuat.
Abdullah tak melihat ada amal yang istimewa, bahkan tak dilihatnya pula
shahabat tadi bangun malam untuk sholat tahajud misalnya.
Saking penasaran Abdullah bertanya kepadanya;”Amal apakah gerangan
yang kamu lakukan sampai kamu mencapai tingkatan itu, yang kami tidak
mampu lakukan?”
Shahabat itu menjawab: ”Tidak ada amalan apa-apa yang istimewa
kecuali yang kamu lihat, hanya saja aku tidak punya rasa benci dan iri
dengki kepada salah seorang pun dari kaum muslimin yang dikaruniai Allah
kebaikan”.
sumber :
tamim blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar