Selasa, 21 Agustus 2012

Cinta Tidak Pernah Salah

Seorang pria yang saya kenal tapi bukan sahabat saya pernah menulis status di FB "Apakah aku tidak berhak untuk bahagia? Kalau memang aku benar- benar menemukan cinta dalam hidupku, tidak bolehkah aku menghabiskan sisa hidup bersamanya?"

Duh, romantis ya? Kayak anak SMA deh kamyu, kutak bisa hidup tanpamu sayang.... Masalahnya, pria yang menulis status itu adalah pria beristri dan sudah punya anak, dan dia baru saja menemukan pacar baru yang membuatnya ingin menceraikan istrinya atas dasar "Aku berhak untuk bahagia." Ohya, dalam kasus pria ini, saya kebetulan tahu bahwa dia memang sebangsa belatung yang berpikir dengan selangkangannya (hum, belatung punya selangkangan yah :D), yang sudah bolak- balik selingkuh, yang memang sakit jiwa tingkat tinggi, jadi anggap saja dia hanya sedang mencari pembenaran untuk hasrat doyan ceweknya.

Tapi misalnya nih, situasinya adalah si pria ini pria yang benar- benar baik- baik, yang menyayangi anak dan istrinya, yang bukan tukang selingkuh, dan kemudian di suatu hari, dia bertemu dengan seorang wanita yang benar- benar klop, benar- benar belahan jiwanya, yang seperti lagunya Savage Garden "I knew I love you before I met you", lalu salahkah dia bila jatuh cinta pada si belahan jiwanya itu karena kan statusnya dia yang sudah menikah? Ini pura- puranya situasi yang ekstrim, bukan sekedar ketemu cewek di kantor, dan lalu witing tresno jalaran soko kulino lah, tapi benar- benar belahan jiwa. Dan karena si pria ini adalah pria yang baik, maka dia tidak tega menyakiti istrinya dengan menceraikannya, tetapi setelah 10 tahun berlalu, dan dia masih tetap deeply in love dengan si belahan hati, salahkah cintanya? Iya, cinta itu datang terlambat, tapi apakah cinta itu salah? Kan kita tidak bisa mengatur dengan siapa kita jatuh cinta? Mungkin seperti kasusnya Pangeran Charles kali ya, yang mau seluruh dunia mencerca, cintanya hanya untuk Camilla seorang (padahal kalau soal tampang dan bodi, ya seperti sarden versus lumba- lumba kalau dibandingkan Diana).

Sekarang kembali ke jaman saya muda dulu. Saat masih naksir- naksiran, masih pacaran. Ada yang kebetulan jatuh cinta pada lawan jenis yang mudah diterima logika. Seagama, tingkat ekonominya setara, pendidikannya sama, orangnya ya normal lah, keluarganya utuh, badannya sehat. Jatuh cinta yang semacam ini bisa dikatakan pucuk dicinta ulampun tiba. Saat saya jatuh cinta pada si Okhi (yang sepenuhnya diluar kendali saya, tahu- tahu saya jatuh cinta aja), karena kebetulan kami seagama, seumuran, sama pola pikirnya, sama hobinya, ya cinta kami bisa dibilang tepat lah. Cinta yang secara logika bisa berlanjut jut jut. Emak bapak kami juga bisa menerima, dan yah memang perjalanan cinta kami mudah dan lempeng saja. We are trully equal and identic persons in different gender (duh jadi mual nih umur segini nulis cinta- cintaan).

Tapi yang namanya jatuh cinta, siapa juga yang bisa mengatur? Maunya semua orang ya jatuh cinta pada orang yang kaya, cakep, baik hati, pintar. Seorang teman saya yang berjilbab, jatuh cinta pada seorang pria Hindu dari kasta tinggi. Teman saya yang anaknya juragan mebel, jatuh cinta pada pentolan preman yang pernah dipenjara akibat ketiduran di tengah jalan desa akibat mabuk (aduh, saya masih tertawa saja kalau ingat kisah ini), seorang teman jatuh cinta pada seorang pria duda dengan dua anak yang usianya terpaut 15 tahun, dan seorang teman saya yang lain jatuh cinta pada pria beristri. Lalu, salahkah cinta mereka? Karena tidak sesuai dengan norma 'umum' yang berlaku? Bahwa jatuh cinta itu ya harus dengan yang seagama, harus dengan yang sekasta, harus dengan yang perjaka dan perawan, harus dengan yang single? Toh kita tidak bisa mengatur pada siapa hati kita terpaut kan? Toh meskipun terkesan terlarang, cinta mereka ini sama saja kan gejalanya dengan cinta saya ke Okhi. Hati berdebar, dengkul lemas, senyum geje tersungging di bibir, tidur tak nyenyak makan tak enak, menelpon setiap 15 menit sekali, dan kemudian mengakhiri telepon dengan "Kamu yang nutup duluan. Ah enggak ah, kamu yang nutup. Hihihi, aku tutup lho! Dadah... Lho kok masih belum ditutup sich..." Sumpah saya butuh muntah dulu sekarang.

Apakah cinta itu penting dalam pernikahan? Kata orang, "Emang kenyang dikasih makan cinta doang?" Nah bagi saya sih, saya tidak akan menikah dengan seseorang kecuali saya jatuh cinta padanya. Hanya orang tolol yang menikah semata demi harta atau harga diri atau status atau apalah selain cinta. Di suatu novel, saat si cewek muda cantik semlohai menikah dengan kakek- kakek umur 80 tahun, seorang temannya kemudian bertanya apa alasannya dia mau menikahi si kakek bau tanah. Jawaban si cewek "Shopping is better than having sex, right?" Meh, kalau saya sih lebih memilih having great sex with a man who gives me great credit card for shopping :D. Hidup hanya sekali, dan dihabiskan dengan berbaring di sebelah pria yang tidak bisa membuat saya bergairah, hidup macam apa itu? Surely I love travelling all around the globe and buy nice mansion, tapi yang utama dan pertama, dengan siapa saya menikmati rumah indah saya, tangan siapa yang saya gandeng sambil menikmati matahari terbenam di Pulau Komodo?

Nah, kalau memang cinta itu pondasi utama pernikahan, jadi kita bisa menikah dengan siapapun yang kita cintai dong? Saya sendiri sih orang yang cukup loose soal cinta- cintaan. Saat mendengar teman saya bercerita soal cintanya pada pria beristri atau cintanya pada si dosen duda yang sudah bangkotan, atau cintanya pada si drunken master, saya tidak akan serta merta berkata "Terkutuk kau, segera tinggalkan dia! Dia bukan untukmu! Cintamu salah!" Cinta kok dibilang salah. Benci dan dendam, itu yang salah. Cinta itu salah satu perasaan terkuat dan terindah. Meskipun membuat penderitanya menjadi unyu, saya yakin cinta jauh lebih baik dari tidak mencintai. Tapi, apa berarti cinta yang tidak pernah salah itu bisa dilanjutkan, bisa sampai ke jenjang pernikahan? That's the question, right?

Jawaban untuk pertanyaan ini tentunya sangat pribadi, tergantung dari masing- masing orang. Bagi saya, begini perumpamaannya. Saya punya banyak teman. Berteman dengan siapapun, tentu tidak ada salahnya, meskipun berbeda agamanya, kekayaannya, sukunya, kastanya, marital statusnya, umurnya. Itu sama seperti jatuh cinta, mau dengan siapapun ya nggak salah. Tapi kemudian, saat saya memutuskan hendak berbisnis peternakan babi misalnya, apakah saya akan mengajak teman saya si Ana yang kebetulan keyakinan agamanya mengharamkan si babi oink- oink? Apakah karena dia teman saya dan saya menyayanginya, maka dia pasti bisa saya ajak ikut serta berkolaborasi dalam hidup saya? Atau kalau saya memang selalu liburan ke Eropa setiap tahun, menginap di hotel bintang lima, apakah lalu saya bisa mengajak si Inu yang kuliahnya saja sebagian dibiayai pamannya? Yang makan siangnya saja hanya nasi sambal tempe? Apakah dia akan nyaman liburan yang semewah itu?

Menikah itu tidak sekedar menyatukan cinta. Cinta itu pondasinya, tapi dindingnya, atapnya, lantainya, adalah pengkolaborasian pandangan hidup, kebiasaan, harapan dan impian. Dan bahkan kolaborasi yang sangat sederhana seperti hendak membuat arisan teman kuliah seangkatan saja membutuhkan pemikiran kan, menyatukan pendapat soal berapa banyak iuran arisan per bulan? Apakah 50 ribu rupiah terlalu sedikit atau 500 ribu itu terlalu tinggi? Apakah semua peserta arisan mampu dan mau rumahnya dijadikan tempat arisan? Hidangan apa yang disediakan tuan rumah, makan malam lengkap atau cukup kue- kue? Tidak cukup sekedar hasrat untuk bikin arisan tanpa perencanaan kan?

Apalagi menikah. Yang dikolaborasikan bukan sekedar urusan iuran dan snack. Yang dikolaborasikan itu hidup kita seutuhnya lho. Iya, saya jatuh cinta pada si Anu setengah mati, dan melihatnya saja bisa membuat saya lemas lunglai, tapi menikah kan bukan sekedar kolaborasi saat kencan nonton bioskop yang gelap dan ehem ehem. Saat menikah, berarti saya harus mengkolaborasikan pandangan hidup saya dan si Anu, apakah si Anu bisa menerima prinsip hidup saya yang mencari partner setara dan bukannya pemimpin dan pembimbing? Apakah saya bisa menerima bahwa daging sapi tidak akan pernah hadir di rumah kami karena si Anu adalah pengikut agama Hindu yang setia? Apakah si Anu bisa menerima bahwa saya belum pernah bergaul dengan para sosialita yang selama ini menjadi lingkup pergaulannya, dan pasti akan canggung dan tampak ndeso saat harus mengangkat gelas sampanye untuk toast? Apakah saya bisa menerima bahwa saat si Anu marah ia butuh menghantam tembok dan misuh dengan kasar?

Tentu saja semua orang mempunyai prinsipnya sendiri- sendiri, ada orang yang jelas tidak mau menikah kecuali dengan orang yang seagama, sementara bagi saya hal tersebut bukanlah dosa. Tentu akan lebih mudah bila kita seagama, tapi saya tidak keberatan suami saya berdoa dengan cara yang berbeda dari saya, selama ia juga menghormati cara saya. Paling hanya bakal pusing menentukan agama anak kami kelak. Ada orang yang tidak bisa bila dipaksa harus ikut gaya hidup pacarnya yang pekerja pertambangan minyak lepas pantai, yang meskipun duitnya banyak tapi hanya bertemu sekali setiap bulan. Makanya, mungkin benar kata pepatah, jangan menikah dengan seseorang sampai anda pernah merasakan bertengkar dengannya. Saat kita bersilang pendapat, sedang gondok dan marah berat, kita akan bisa menilai apakah kita akan tetap bisa mencintainya saat perbedaan mengemuka.

Saya tahu saya akan bisa bertahan hidup dengan pria yang berbeda agama, berbeda usia, tapi saya tahu keterbatasan saya, saya tidak bisa menghargai orang yang lebih bodoh dari saya. Jadi, saya tidak akan memaksa diri menikahi seseorang yang saat diajak bicara tidak nyambung bin dongdong dong sumedong, sebaik apapun dia. Saya pasti akan melecehkan suami saya pada akhirnya, secinta apapun saya padanya. Dan saya tidak bisa mempunyai suami yang on dan off, yang pekerjaannya menuntutnya berada jauh dari saya, sekaya apapun dia. Saya butuh suami saya pulang setiap malam (coret hansip dan dokter kandungan dari kriteria calon suami ideal).

Selain soal prinsip, tentu ada juga yang disebut batasan moral. Batasan moral ini tentunya berbeda- beda juga bagi setiap orang. Ada orang yang tidak akan menikah kecuali atas restu orang tua, karena tanpa restu orang tua mereka menganggap pernikahan mereka tidak akan langgeng. Kalau memang seseorang percaya restu orang tua adalah syarat mutlak, ya jangan menikah kalau tidak dapat restu, karena hati kecil anda akan tersiksa selamanya. Sementara bagi saya, masih mungkin saya akan maju terus meskipun keluarga menentang, karena yang tahu apa prinsip hidup saya dan batasan moral bagi saya adalah saya sendiri. Orang lain boleh memberikan pendapat, tapi pada akhirnya, saya mengharap mereka akan mendoakan kebahagiaan saya, apapun yang saya putuskan.

Tentu ada nilai moral yang saya anut, yang saya tidak akan melanggarnya karena saya percaya saya tidak akan bahagia karenanya. Secinta apapun saya pada seorang pria, saya tidak akan merebutnya dari istri dan anaknya. Kalau dia memang bermasalah dengan istrinya atau bahkan istrinya psikopat tukang palak sekalipun, pria itu harus menyelesaikan dulu permasalahannya dengan istrinya, bercerai dengan sempurna, dan baru saya akan memasuki kehidupannya. Saya tentu tidak bisa mengharapkan Yang Terkasih di atas sana akan merestui hubungan yang dibangun di atas penderitaan orang lain, not to mention the innocent little kids.

Intinya sih, cinta tidak pernah salah. Saya tidak malu pada siapapun saya 'menjatuh cintai'. Tapi tentu cinta haruslah disertai akal sehat dan hati yang penuh kebaikan, untuk tidak membuat cinta kita mengorbankan kebahagiaan orang lain. Kok saya jadi bingung sendiri sih dengan kalimat ini? Nggak berbakat membuat kalimat motivasi yang indah nih...

Note unyu yang ditulis karena sebentar lagi akan berpisah dari si Okhi selama satu setengah bulan. Gonna miss you babe....





sumber :
 Cinta tak pernah salah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar